Eko Alvares Z

Sabtu, 02 Agustus 2008

Mengelilingi Padang Kota Lama Jelang HUT Kota Padang ke-339 (3/habis), Nasib Rumah Gadangku Kini...

Sabtu, 02 Agustus 2008, Padang Ekspres

Sample Image Rumah gadang peninggalan rang Minang di Padang lama satu persatu terlupakan. Padahal benda-benda kuno tersebut salah satu bentuk aset daerah yang dapat menarik perhatian dunia internasional di sektor pariwisata. Ilham Safutra—Padang. Sayangnya, puluhan rumah adat yang ditinggalkan para leluhur rang Padang itu, kini nasibnya memiriskan.

Meskipun sebagiannya terselamatkan oleh sebagian anak cucunya. Padang sebagai negeri rantau rang Minang dari negeri asalnya di Pariangan Kabupaten Tanahdatar. Negeri yang mulanya tidak berpenghuni ini dijadikan daerah panarukoan itu dijadikan sebagai negeri sendiri. Hal itu dilakukan sebagai salah satu bukti tanda daerah baru itu memang milik orang yang manaruko di sana. Dengan alasan itu rang Minang membangun rumah gadang di Padang.

Kawasan yang banyak didirikan rumah gadang di Alanglaweh, Subarangpadang, dan Tarandam. Kini rumah kebanggaan orang pribumi ini satu per satu semakin sulit ditemukan. Punahnya benda peninggalan sejarah itu disebabkan beberapa alasan.

Ada karena generasi penerus dari kaum ini tidak sanggup melakukan pemeliharaan, ada pula ditinggalkan anak cucunya merantau ke negeri seberang. Sehingga rumah itu jadi rumah tua tak berpenghuni. Dari sejumlah rumah gadang yang hilang dan yang diubah itu, ternyata masih tersisa beberapa rumah gadang lainnya yang masih berdiri cukup kokoh.

Ironisnya rumah yang tertinggal itu sebagiannya tidak lagi ditempati. Salah satunya di Jalan Ranah sekitar rumah makan Midun, Kelurahan Ranah, Kecamatan Padang Selatan. Rumah tersebut sudah dicatat sebagai cagar budaya. Umurnya sekitar seratus tahun lebih. Sayangnya rumah itu kini dihuni hewan anjing untuk beranak pinak. Buktinya ketika Padang Ekspres menyambangi rumah tersebut, hewan buas itu nyaris menyerbu.

Rina (45), salah seorang warga sekitar rumah itu, ketika disinggahi Padang Ekspres mengatakan rumah kuno itu telah terdaftar di Pemerintah Kota (Pemko) Padang, tapi hingga sekarang bentuk aslinya yang terbuat dari bahan kayu dan semen itu semakin tidak dapat lagi ditempati. “Rumah gadang ini hanya dihuni anjing untuk berkembang biak,” terang Rina. Di samping rumah itu, masih ada rumah gadang tua lainnya yang masih dihuni. Diperkirakan umurnya lebih muda.

Sementara itu di Jl Thamrin terdapat sekitar empat rumah gadang Padang kuno lainnya. Kondisinya tidak lagi asli. Sebagian bahan bangunan itu sudah berganti dengan bahan-bahan yang diproduksi sepuluh tahun terakhir.
Satu di antara rumah gadang di Jl Thamrin itu masih ditempati keturunannya.

Umur rumah gadang yang dihiaskan dengan ukiran-ukuiran tradisional ini sekitar 400 tahun. Rumah gadang itu dibangun pertama kali Puti Nani bersama suaminya Tuanku Saruaso dari kerajaan Pagaruyung. Rumah ini dibangun jauh sebelum Masjid Raya Ganting. Keturunan pemilik rumah ini telah 10 keturunan. Keturunan pertama Puti Nani dua orang puti, Puti Tirajo yang kawin dengan Tuangku Saruaso dari Selayo. Seorang regen pada zaman itu. Anak keduanya Puti Sari Rajo yang dipersunting Sultan Babulu Lidah, seorang regen, dari Kerajaan Indropuro.

Kini rumah itu masih berdiri kokoh. Meski telah mengalami tambal sulap beberapa kali, namun bentuk aslinya masih dipertahankan. Dengan luas 320 meter persegi di atas tanah 1000 meter, di rumah ini terdapat enam bilik (kamar tidur), palanta, ruang dayang, yang kini digunakan untuk ruang keluarga. St Damhuri Bur St Khairullah (65), salah keturunan ketujuh Puti Nani ketika ditemui Padang Ekspres mengatakan ia bersama keluarga besar selalu mempertahankan bentuk asli rumah peninggalan nenek moyangnya. “Kita berusaha menjadikan rumah ini tetap seperti dulu kala.Sample Image

Sayangnya biaya perawatannya tidak selalu cukup,” keluhnya didampingi sumendanya Yuharlia Rasyid (65). Sejatinya rumah itu menjadi aset daerah. Sebab rumah itu menjadi salah satu bukti peradapan orang Minang di Padang zaman dulu.

Tak terawatt : Keberadaan sejumlah rumah gadang yang ada di Kota Padang. Hanya saja sebagian dari rumah ini kondisinya tidak terawat.

Sementara itu, Wakil Sekretaris LKAAM Kota Padang St Lukman St Maruhun Alamsyah mengatakan rumah gadang di Padang yang ditemui saat ini tidak menggunakan gojong. Hal itu disebabkan pengaruh kedatangan orang-orang dari Kejaraan Aceh sebelum kedatangan koloni-koloni Protugis dan Belanda.

Dikatakan St Lukman, zaman itu Kerajaan Aceh hendak menyerang Kerajaan Minangkabau di Pariangan. Namun kerajaan Aceh tidak berhasil. Untuk memuaskan hatinya, kerajaan Aceh menguasai Padang. Waktu itulah Islam disebarkan ke seluruh orang Minang di Padang. Sebagai bentuk kekuasaan Aceh di Padang, maka rumah gadang yang dulunya dibangun dengan bergonjong di potong tentara Aceh. “Sebab itulah rumah gadang di Padang tidak lagi menggunakan gonjong. Selain itu juga rumah gadang padang ada kemiripan dengan rumah adat Aceh,” terang St Lukman. “Kita berharap rumah-rumah gadang yang masih tinggal itu dijadikan cagar budaya,” tutup St Lukman. (***)


Kamis, 26 Juni 2008

Kawasan Pusaka dan KKL Arsitektur

Konsep “Kawasan Pusaka” adalah sebuah gagasan yang baru tumbuh dan berkembang atas pengamatan dan pembelajaran di berbagai tempat yang kemudian disesuaikan dengan keberagaman dan potensi masyarakat tempatan di Indonesia. Konsep ini memandang perlunya sebuah kegiatan yang menyeluruh dari bentuk pelestarian pusaka dengan alam sebagai variabel utama pembangunan yng tidak terpisahkan dari kegiatan berbudaya.

Hal tersebut disampaikan oleh DR. Ir. Eko Alvares Koordinator Kuliah Kerja Lapangan Universitas Bung Hatta dalam seminar seminar hasil KKL Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan UBH dengan tema “Menuju Pelestarian Kawasan Pusaka Nagari Koto Gadang” di Aula Gedung B UBH pada Senin (7/3).
Berita: Kawasan Pusaka UBH
Menurutnya lagi, pembangunan yang berorientasi kepada fisik saja, yang hanya digarap secara sektoral, mengakibatkan keharmonisan manusia dan lingkungan menjadi kehilangan keseimbangan. Terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan, hilangnya budaya tempatan, rayuan globalisasi, degradasi moral dan budaya, akibatnya kampung-kampung di nagari tidak lagi menjadi tempat yang nyaman dan sumber kemakmuran bagi masyarakatnya.
Berita: Kawasan Pusaka UBH
“Konsep Pelestarian kawasan pusaka dipersiapkan untuk dapat menjadi salah satu solusi persoalan kawasan bersejarah di Indonesia yang bertumpu pada kemandirian masyarakat lokal, menggugah apresiasi, dan kolaborasi dengan banyak pihak. Di sisi lain membuka lapangan pekerjaan baru bagi para arsitek, perencana atau profesi lainnya yang terkait untuk pro aktif membentuk organisasi “kawasan Pusaka” secara profesional dan menawarkan kepada masyarakat lokal di berbagai kawasan bersejarah di Indonesia,” tuturnya menjelaskan.
Berita: Kawasan Pusaka UBH
KKL yang dilaksanakan oleh sekitar 70 mahasiswa Arsitektur dan FTSP tersebut dilaksanakan di Nagari Koto Gadang, sebuah pemukiman yang dibentuk oleh potensi dan keterbatasan daya dukung lahan. Di nagari ini bisa dipelajari bagaimana potensi lahan di siasati dan kemudian membentuk suatu wadah yang nyaman untuk ditinggali. Komposisi kekayaan alamnya merupakan perpaduan yang ideal bila dilengkapi aktivitas anak nagari yang dapat memberikan khas sebuah kawasan pusaka.
Berita: Kawasan Pusaka UBH
Menurutnya lagi, pelestarian kawasan pusaka harus dilakukan agar anak nagari mengetahui mau diapakan dan dibawa kemana nagari tersebut, sebagai dasar atau pijakan bagi pembangunan di segala bidang atau penataan komprehensif multi sektoral pembangunan di nagari, strategi untuk melakukan pembangunan yang berkelanjutan untuk melestarikan nilai pusaka yang ada dan pilihan utama anak nagari dalam merespon dan menolak tawaran program pembangunan dari luar.
Berita: Kawasan Pusaka UBH
Lebih jauh dia mengatakan, bahwa pelestarian kawasan pusaka ini berguna untuk menggugah anak nagari akan kekayaan pusaka yang dimiliki, menggali potensi dan kekayaan pusaka nagari, membuat anak nagari menjadi mandiri dan kreatif serta menjadi pusat orientasi pembangunan.
Berita: Kawasan Pusaka UBH
Selain itu juga untuk mendapatkan sistem pengelolaan pembangunan yang berkelanjutan dan berkesinambungan secara menyeluruh, meningkatkan kualitas lingkungan dan kesejahteraan masyarakat melalui usaha-usaha peningkatan ekonomi, dan menciptakan sebuah simpul dari jaringan multi sektoral dan multi disiplin ilmu ditingkat lokal, nasional dan internasional. (sumber : Ita- wartawan Haluan)

Didominasi Perusahaan Seluler

Minangkabau News.Com-Padang,Meskipun UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup telah sering disosialisasikan, nyatanya hingga saat ini masih banyak pelaku usaha membandel. Mereka masih mangkir dalam membuat dokumen Upaya Kelola Lingkungan/Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL/UPL), yang diwajibkan dalam UU tersebut. Bahkan perusahaan yang telah membuat UKL/UPL pun hanya menjadikan dokumen itu sebagai kertas tanpa arti.

Berdasarkan data Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Kota Padang, ada 154 perusahaan belum membuat dokumen wajib tersebut. Dari 154 perusahaan yang tak patuh aturan, 70 di antaranya adalah perusahaan Telkomsel dengan jenis usaha tower. Sementara perusahaan yang telah memiliki dokumen UKL/UPL hanya berjumlah 104 perusahaan. “Dari data yang tercatat, baru 104 perusahaan yang telah memiliki dokumen UKL/UPL,” ujar Kepala Bapedalda, Indang Dewata, Rabu lalu. Dikatakannya, saat ini ada tiga perusahaan yang sedang mengurus pembuatan dokumen tersebut yaitu Rumah Sakit Baiturrahmah Gigi dan Mulut, Gedung Telkomsel di Khatib Sulaiman dan PT Basco Minang Plaza. Terkait perusahaan yang belum memiliki dokumen UKL/UPL, Bapedalda ujar Indang terus melakukan pengejaran. Mereka mendapatkan surat teguran jika masih membandel. “Pada umumnya setelah mendapat teguran ketiga mereka mulai melunak,” tandasnya.

Upaya Bapedalda, ulas Indang memang lebih bersifat pembinaan, karena diupayakan perusahaan itu tetap jalan tetapi melakukan pembuatan dokumen. Sikap seperti itu lantaran dalam penegakan lingkungan, penyelesaian di luar persidangan lebih diutamakan, karena menyangkut tenaga kerja dan investasi di daerah. Namun jika sudah sangat vital, Bapedalda akan memberikan rekomendasi kepada Wali Kota Padang untuk penangguhan perpanjangan SITU perusahaan bersangkutan. “Contohnya PT Abai Siat Raya. Mereka telah kita tegur tiga kali, namun tetap mengolah limbah tidak sesuai standar IPAL baku. “Kita telah usulkan ke Wali Kota penangguhan perpanjangan SITU-nya” ujar Kabid Pelestarian dan Pemungkiman Bapedalda Padang, Mairizon. Selain PT Abai Siat Raya, ada 6 perusahaan yang terancam ditangguhkan pula perpanjangan SITU-nya, karena tidak menyerahkan laporan pelaksanaan pengelolaan lingkungannya. Di antaranya ialah PT Talago Raya, dan PT Jati Sehati Padang yang bergerak di usaha SPBU dan Logam Jaya.

Tak Perlu Amdal

Indang Dewata juga mengungkapkan pembangunan gedung Telkomsel berlokasi di Jalan Khatib Sulaiman yang direncanakan seluas 23 ribu M2 dengan delapan lantai, dapat dilanjutkan kembali. Pasalnya, pihak Telkomsel mengirimkan surat ke Bappedalda bernomor 056/PC/00/ND-24-111-2008 tertanggal 24 Maret tentang perobahan luas bangunan dan ditandatangani Project Liaison Sumbagut Umar Syafri Dario yang direncanakan 23 ribu M2 dengan delapan lantai menjadi 6,181 M2 dengan lima lantai. “Dengan adanya perubahan luas bangunan tersebut Telkomsel tidak perlu mengantongi Amdal tapi cukup dengan UPL dan UKL. Karena pembangunan yang luasnya 10 ribu M2 ke bawah tidak diisyaratkan mengurus Amdal. Sehingga tidak ada alasan menghentikan sementara pembangunan gedung tersebut,” jelas Indang Dewata. Walau tidak mewajibkan adanya Amdal dalam pembangunan tersebut dan hanya UPL dan UKL saja, sebut Indang, Bappedalda akan terus mengawasi pembangunan tersebut. Jika dalam perjalanan pihak Telkomsel melakukan pelanggaran, sanksi tegas akan diberikan. “Artinya proyek tersebut tetap berada dalam pengawasan,” tegasnya. (ciw/ita)

Bapedalda Harus Tegas

Masih banyaknya perusahaan di Kota Padang yang belum memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), harus ditindak tegas oleh Pemko, dalam hal ini Bapedalda. Karena, jika dibiarkan ”menjamur”, akan memberi peluang Kota Padang menjadi sangat tidak ramah lingkungan 10 tahun mendatang. Peraturan Wali Kota No.7 Tahun 2007, menurut Ketua Komisi C Bidang Pembangunan DPRD Kota Padang, sudah mengatur kewajiban seluruh dunia usaha untuk melengkapi AMDAL, dan Upaya Kelola Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) mereka, dengan batas waktu tertentu. “Tinggal bagaimana Bapedalda, mengimpelementasikannya melalui kegiatan sosialisasi kontinu kepada seluruh perusahaan dan bangunan di Kota Padang, agar mentaati aturan tersebut,” jelasnya ketika dihubungi melalui telepon selularnya, kemarin.

Jika Bapedalda tidak mampu melakukannya sendiri, lakukan koordinasi lintas sektoral antara seluruh SKPD terkait, seperti Dinas TRTB, dan Sat Pol PP. “Kalau ada perusahaan yang bandel, Satpol PP bisa menindaknya kok,” tegas Priyanto. Tapi yang penting, lanjut Priyanto, Sosialisasi harus terlebih dahulu dilakukan, sembari menghitung mundur seluruh perusahaan yang akan diberi peringatan agar segera melengkapi UKL/UPLnya. Wakil Ketua Komisi C Faizal menekankan, Pemko jangan segan melakukan pembongkaran bangunan, yang secara nyata tidak memiliki persyaratan AMDAL yang lengkap, baik UKL/UPL maupun IMB. “Yang akan jadi korban itu masyarakat, kita harus hindari itu sedini mungkin,” tandasnya. Pengamat Tata Ruang UBH Eko Alvares menambahkan, seluruh bangunan peletakannya harus sesuai peruntukkan. Masyarakat harus lebih jeli melakukan pantauan bangunan baru di lingkungannya. “Setiap bangunan juga harus ada izin tetangga, jadi bisa dilayangkan keluhan kepada Pemko, jika masyarakat menemukan kondisi pembangunan yang mengancam keselamatan mereka, dan rentan mengakibatkan dampak negatif bagi lingkungan mereka,” pungkasnya.(li)

Pemda Harus Benahi Regulasi Angkutan Massal

PadangKini.com | Kamis, 22/5/2008, 20:08 WIB

PADANG--Pemerintah Daerah Provinsi maupun kota di Sumatera Barat harus membuat regulasi atau peraturan angkutan massal. Regulasi yang ada sekarang harus dibenahi karena dalam pelaksanaannya tidak jelas.

Pendapat itu disampaikan Eko Alvares Z, peneliti dan pengamat transportasi dari Universitas Bung Hatta Padang kepada PadangKini.com usai Seminar Sehari Menciptakan Sistem Transportasi Murah dan Aman yang diselenggarakan Jasa Raharja di Hotel Pangeran Hotel, Kamis (22/5).

Menurut Eko, saat ini di Sumatera Barat, tidak jelas mana yang mobil pribadi dan mana yang mobil angkutan umum atau sewaan.

"Inilah yang bikin kacau, harus ada penegakan trayek dari pemerintah, pemerintah harus benar-benar mengatur ini," ujarnya.

Untuk membudayakan angkutan massal di Sumatera Barat, kata Eko, banyak hal yang mesti diubah. Di antarnya, mengubah konsep budaya dari berkendaraan yang individu pindah kepada kendaraan yang massal, dan menerapkan budaya disiplin mematuhi hukum dan rambu-rambu lalu lintas.

"Untuk menuju ke sana caranya dengan mengubah budaya masyarakat sejak pendidikan usia dini," katanya.

Selain itu, dengan naiknya BBM, masyarakat bisa memulai melakukan efisiensi dengan lebih baik menggunakan angkutan umum, bersepeda, atau jalan kaki.

"Kalau sudah seperti ini nanti pelan-pelan kita akan mengubah dari bersifat individu ke angkutan massal," ujarnya.

Untuk menuju transportasi aman dan murah, kata Eko, juga membutuhkan investasi yang banyak dan jangka panjang dengan penyediaan sarana dan prasarana yang memadai. (bening/s)

Kota Padang Dipengaruhi Jakarta dan Singapura

Sinar Harapan, Yogyakarta — Pertumbuhan awal Kota Padang dibentuk oleh pertemuan kegiatan perdagangan antara para pialang di pesisir dengan pedagang yang datang dari daerah pedalaman. Di antara dua pusat kegiatan itulah VOC meletakkan benteng dan mulai mendominasi perdagangan.
Hal itu terungkap dalam desertasi Eko Alvares Zaidulfar yang berjudul ”Morfologi Kota Padang”. Lewat desertasi ini, Eko berhasil meraih gelar doktor di bidang ilmu teknik di UGM. Ia dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan.
”Perubahan spasial kota Padang sebelum abad ke-20 merupakan kombinasi dialektik antara penetrasi kolonial dan resistensi pribumi. Ekspresi ke ruangan morfologi kota didominasi oleh sistem kota pertahanan, kanal-kanal, pemukiman multietnik dan pola sirkulasi organik,” ujar Eko, staf pengajar di Universitas Bung Hatta Padang ini.
Lebih lanjut dikatakan, pada abad ke-20, perubahan spasial lebih banyak didorong oleh intervensi perencanaan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk mengisi pola dan struktur kota serta mengatur fungsi utama kota yang sudah ada. Setelah kemerdekaan, perkembangan kota cenderung meneruskan bentuk kota yang terfragmentasi, dualistik wajah kota dan didominasi oleh konsep-konsep perencanaan kota yang seragam dan sentralistik.
Meski terjadi banyak perubahan, menurut Eko yang meraih Magister Teknik Arsitektur di ITB Bandung pada tahun 1993, ekspresi ke ruangan morfologi kota Padang sekarang ini masih banyak dipengaruhi perkembangan masa lalunya. (yuk)

Robohnya Rumah Gadang Kami

Minggu, 15 Juni 2008, Padang Ekspres
Rumah gadang (rumah adat) sebagai identitas dan kebanggaan rang Minang kini terancam hilang. Banyak yang dibiarkan lapuk tak terurus dan runtuh berkeping-keping. Bisa dihitung dengan jari, rumah gadang yang terawat, berdiri megah dan menjadi bagian penting dalam pengambilan keputusan membangun nagari.

Kondisi yang memiriskan ini bisa dilihat di Luhak Agam. Tak seberapa rumah gadang yang mampu berdiri kokoh sesuai harapan di era babaliak ka nagari. Kontras dengan sejarahnya, rumah gadang berdiri megah hampir di setiap sudut perkampungan.

Masalah biaya, lemahnya ekonomi masyarakat di kampung halaman jadi penyebab utama hilangnya khasanah rumah gadang yang selama ini jadi kebanggaan rang Minang. Padahal, rumah gadang berperan sentral dalam membangun kebersamaan, tempat menempa diri kaum muda baik adat, seni tradisi, agama dan beladiri.

Malahan, kini banyak yang berasumsi rumah gadang lebih diorientasikan sebagai simbol “kekuatan ekonomi” kaum, suku dan kelompok masyarakat. Jadi mereka-mereka dari keluarga dan kaum yang mempunyai ekonomi lebih giat membangun. Apalagi masyarakat di kampung halaman justru dihadang beragam kesulitan.

Mantan Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Agam (almarhum) MTH. Dt. Pangulu Basa, saat masih hidup tahun 1980-an mengatakan hampir semua jorong dan nagari, setidaknya memiliki tiga sampai lima rumah gadang milik kaum dan suku.

Di rumah gadang, seluruh aktivitas warga digelar, bukan saja tempat musyawarah keluarga dan kaum. Tapi juga tempat merumuskan berbagai kebijakan membangun kampung dan nagari, termasuk sebagai tempat latihan mental generasi muda seperti beladiri, pendidikan adat istiadat dan pasambahan.

Namun seiring semangat kembali ke nagari dan pemerintahan nagari yang semakin eksis dan didukung semakin tingginya kepedulian perantau, perlahan tapi pasti, sosok rumah gadang kembali menjulang megah.

Di banyak tempat walau masih dalam hitungan jari rumah-rumah gadang lengkap dengan arsitekur khas Minangkabau yang membanggakan mulai berdiri. Salah satunya rumah gadang kaum Caniago di Bandar Baru, Lubukbasung yang dibangun atas kepedulian dan perhatian perantau dan anak kemenakan.

Saat ini, rumah gadang nan sambilan ruang di Bandar Baru, bukan sekadar tempat berkumpul anak kemenakan tetapi sekaligus tempat menggelar berbagai kegiatan kampung dan nagari. Kini selain rumah gadang juga berdiri Masjid An-Har yang megah persis disampingnya. Kaum suku Melayu juga tak mau ketinggalan dan membangun rumah gadang tempat baiyo batido di Padang Baru, Lubukbasung.

Kondisi di Luhak Agam juga tak jauh beda dengan Kota Padang. Memang di daerah pinggiran masih banyak ditemui rumah gadang. Ada rumah gadang yang umurnya sudah mencapai ratusan tahun dan masih dihuni pemiliknya. Tapi ada juga yang sudah ditinggalkan, tak berpenghuni dengan kondisi yang mengenaskan.

Kecamatan Kuranji, salah satu kawasan, dimana sebagian kecil penduduknya tetap mencoba melestarikan rumah gadang. Memasuki simpang Kuranji, kita sudah disuguhi deretan rumah gadang, dengan berbagai ukuran. Di Kelurahan Korong Gadang misalnya terdapat rumah gadang yang sudah direnovasi. Arsitekturnya dipadukan dengan arsitektur bangunan modern, karena kondisi awalnya sudah tak layak dihuni.

"Saya tidak tahu siapa pemiliknya. Sejak tinggal di sini, rumah tersebut sudah kosong,"ujar upik (45), salah seorang warga yang tinggal di samping sebuah rumah gadang tak berpenghuni tersebut. Dari kondisinya, rumah tersebut sudah bertahun-tahun tak dihuni. Terlihat dari rumput halamannya sudah tinggi dan lumut menempel di beberapa bagian rumah. Tapi, jika membayangkan kondisi aslinya, bisa jadi, rumah gadang ini cukup mewah. Tampak ukiran pintu dan bahan kayu yang dipakai sangat kokoh.

Namun di Simpang Belimbing masih ada rumah pusako milik keluarga Rosna (70) yang hingga kini masih dihuni. Rumah gadang yang sudah dihuni tiga generasi tersebut masih tampak kokoh, dengan penyangga yang terbuat dari kayu jati. Bagian rumah yang terdiri dari empat kamar itu, masih tampak rapi, tak ada kesan, bahwa rumah gadang tersebut sudah uzur.

"Saya sudah sejak lahir tinggal di sini, waktu itu, sebagian besar kawasan ini masih rimba, hanya beberapa rumah gadang yang berdiri," ujar anak Rosna, Zaina (57) yang memiliki empat orang anak ini.

Zaina bertutur, perjalanan keluarganya membangun rumah gadang tersebut cukup sulit. Keluarganya belum berniat merehab rumah gadang dan menyesuaikan bentuknya dengan rumah modern. "Banyak kenangan kelurga di rumah ini. Kalau direhab, sama saja menghilangkan kenangan kami," ungkap Zaina.

Sama halnya dengan Zaina, Rahmah (74), juga bersikeras tak akan pernah melakukan rehab terhadap rumah gadang yang ditinggalinya. "Biarlah nanti rumah ini runtuh sendiri," ucap ibu beranak tujuh, dan merupakan generasi keempat yang tinggal di rumah gadang tersebut.

Rumah gadang yang hanya memiliki satu kamar besar tersebut, menurut Rahmah, menyimpan banyak sejarah. Saat perang antara tentara Indonesia dan Belanda sekitar tahun 1940-an sempat menjadi base camp tentara Minang dan Jawa. "Waktu itu saya masih duduk di kelas 2 SD. Saya ingat betul tentara Minang membawa tentara Belanda yang ditangkapnya, untuk, diinterogasi di rumah ini," kenang nenek, tujuh orang cucu ini, bangga.

Rumah gadang yang umurnya lebih dari seratus tahun itu, sudah melalui berbagai tahap kehidupan. Mulai dari detik-detik kelahiran anak-anak Rahmah bersama Din (75) hingga perhelatan pernikahan anggota keluarga.

Rumah gadang yang kini ditempatinya dengan sang suami, anak bungsu, menantu, dan dua cucunya tersebut awalnya hanya beratapkan rumbio. Tapi berhubung seng sudah ada, Rahmahpun menggantinya tapi bagian lain rumah masih original. "Hanya saja, jika kayu lantai keropos, saya ganti dengan kayu lain," lanjutnya.

Rahmah juga mengaku sedih, karena saat ini ada masyarakat yang rela menghancurkan rumah gadang mereka, dan menggantinya dengan rumah batu. Padahal, rumah gadang tersebut merupakan simbol dan identitas orang minang.

Saya hanya berpesan kepada anak-anak saya, agar selalu menjaga rumah gadang ini, meskipun nanti saya sudah tidak ada," harap Rahmah, yang juga menjadi saksi hidup peperangan di Kota Padang, bahkan saat perang tersebut, di rumah gadang milik keluarganya itu, menjadi tempat persembunyian para warga, karena di bagian bawah rumahnya memiliki lubang persembunyian.

Ketua Pusat Studi Konservasi Arsitektur (Pusaka) Universitas Bung Hatta (UBH), Eko Alvares mengatakan kurang terpeliharanya rumah gadang karena kemampuan masyarakat terbatas. Keluarga yang saparuik juga sulit mencapai kesepakatan karena dana yang dibutuhkan cukup besar, mencapai ratusan juta rupiah.

Hasil studi Pusaka di 14 nagari di Sumbar menunjukkan banyak rumah gadang yang kurang terurus. Malahan terpaksa dipotong penghuninya karena bagian lain sudah tidak terawat seperti di Nagari Rao-rao, Tanahdatar. Intervensi pemerintah belum bisa diharapkan karena terbatasnya anggaran.

"Jangankan memikirkan membangun rumah gadang, membangun ekonomi masyarakat pun masih kesulitan. Namun kita tetap berharap, minimal pemerintah memberikan insentif bagi masyarakat yang mau memelihara keutuhan rumah gadang di daerahnya," ujar Eko.

Eko Alvares menilai selain dana, karakter masyarakat Minang yang cepat merespons perubahan mengakibatkan berbagai tradisi cepat ditinggalkan termasuk abai dengan rumah gadang. Menurutnya, ke depan dibutuhkan strategi transformasi budaya, mengikuti perubahan tanpa meninggalkan identitasnya.

Kepala Museum Museum Usria Dhavida mengakui data base dan dokumentasi rumah gadang secara utuh di Sumbar belum ada. Museum juga lebih banyak bergerak dalam pelestarian benda-benda bergerak seperti perhiasan-perhiasan rumah gadang. Sedangkan rumah gadangnya karena masuk kategori tidak bergerak statusnya menjadi situs dan pemeliharaannya menjadi kewenangan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3).

Khusus benda bergerak terang Usria Davida, museum secara terus menerus berupaya melestarikannya melalui pencarian ke daerah-daerah, membelinya kepada masyarakat dan menempatkannya di museum. Beberapa daerah juga dibantu lemari penyimpanan benda-benda bersejarah tersebut. Namun program ini belum berjalan maksimal karena keterbatasan anggaran. Apalagi perhiasan yang terbuat dari emas harganya mencapai puluhan juta rupiah.

Justru pendidikan dan pemahaman kepada masyarakat yang perlu terus ditingkatkan sehingga mereka tidak mudah melepas benda-benda bersejarah hanya dengan iming-iming rupiah. Apalagi kondisi saat ini sebagian besar peninggalan sudah hilang terutama yang bagus-bagus dan terbuat dari emas seperti pending, sunting, pedang samurai, keris, batu giok dan kuku emas. (Tim Padek)

Padang Butuh Bus Massal Nyaman dan Murah

Sabtu, 17 Mei 2008
Padang, Padek-- Transportasi merupakan urat nadi sosial ekonomi masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap kelangsungan perekonomian daerah, pariwisata, budaya serta pertahanan dan keamanan. Oleh karena itu, perlu adanya transportasi massa yang murah, cepat, aman dan nyaman.

“Pelaksanaan transportasi murah dan aman tersebut, yakni transportasi massal. Hadirnya transportasi ini tidak boleh lagi mementingkan individu. Masa depan, warga menginginkan rasa aman, cepat, murah dan sehat,” kata Pengamat Transportasi dari Universitas Bung Hatta (UBH) Eko Alvares kepada Padang Ekspres, kemarin.

Kota Jakarta misalnya. Secara bertahap, sebut Eko Alvares, beralih ke transportasi massal dengan mengadakan bus way, yang dapat memberikan rasa aman, cepat, murah dan sehat. “Kini, secara bertahap Jakarta menuju transportasi, monorel (kereta api cepat). Oleh karena itu, kita juga harus belajar ke Jakarta dan sudah saatnya kita menuju ke sana,” ucap Eko.

Eko mengatakan melihat kondisi angkutan umum saat ini, memiliki kekurangan di antaranya boros, menimbulkan polusi dan berebut penumpang. “Nah, transportasi massal salah satu solusinya.”

Kota Padang, kata Eko akan mengaplikasikan transportasi massal ini dengan mengadakan bus massal tahun 2009. Secara teknis, lima pemilik angkot menjual angkotnya ke badan lembaga usaha pemerintah untuk membeli satu bus massal. “Menurut saya, meski idenya bagus tapi sudah terlambat. Saya berharap adanya pengkajian terkait rencana tersebut dan tertuang dalam rancangan tata ruang kota,” tukasnya.

Tanggapan Pengamat Transportasi Eko Alvares ini seiring akan dilaksanakannya Seminar Nasional “Menciptakan Transportasi Aman dan Murah” yang diselenggarakan Harian Pagi Padang Ekspres, Kamis (22/5) di Pangerans Beach Hotel. (ril)


Minggu, 22 Juni 2008

Mencegah Banjir Dari Rumah Kita

Oleh: Eko Alvares Z

Banjir sebagian disebabkan oleh fenomena alam seperti curah hujan yang tinggi. Namun sebagian lagi disebabkan oleh kelalaian dan keserakahan manusia, seperti pembalakan hutan dan konversi daerah tangkapan air menjadi daerah terbangun. Oleh karena itu, dalam pembangunan kota pencegahan banjir tidak lepas dari perilaku warga kota dan strategi pembangunan kota tersebut.

Kota Padang, sejak jaman kolonial dulu, dalam pengembangan kotanya tidak terlepas dari dua hal, yaitu pengeringan kawasan berawa-rawa dan pencegahan banjir. Dimulai pada awal abad ke-19 berupa usaha menormalisasi atau pelurusan Batang Arau, dan pembuatan Banda Bakali di awal abad ke-20. Usaha itu terus berlanjut sampai dengan penguhujung abad ke 20 dan awal abad 21, dengan terus menormalisasi sungai-sungai di kawasan utara kota. Sepertinya usaha memperbaiki drainase primer tersebut masih kurang cukup, diperlukan usaha yang dapat dilakukan oleh setiap warga kota, yaitu mencegah banjir dari rumah masing-masing.

Dalam perencanaan kota yang baik, dikenal apa yang disebut Koefisien Dasar Bangunan atau KDB, yaitu perbandingan luas lahan dengan kawasan terbangun atau luas bangunan lantai dasar. Umumnya KDB dinyatakan dengan bentuk presentasi, misal 70% atau 60%, artinya hanya 70% atau 60% dari luas lahan yang boleh dibangun, sedangkan sisanya tidak boleh dibangun, atau dengan kata lain harus merupakan tanah yang dapat meresapkan air.

Namun dalam praktek pembangunan perumahan di perkotaan, ketentuan ini sering dilanggar, dengan membangun semua luas lahan yang ada, mengakibatkan sedikit sekali air hujan dan air permukaan yang dapat diresapkan ke dalam tanah. Kalaupun disisakan berupa halaman, tidak jarang ditutup oleh perkerasan yang tidak bisa meresapkan air. Dapat dibayangkan jika semua air hujan dialirkan dan tidak diresapkan ke dalam tanah, maka banjir adalah akibatnya.

Dalam skala yang lebih luas yaitu sebuah kota, kondisi ini akan membawa dampak yang serius jika resapan air kedalam tanah sangat kurang. Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan daerah resapan air menjadi elemen yang sangat penting bagi usaha untuk mengurangi kawasan yang banjir. Oleh karena itu, jika kita mengalirkan air hujan dan menyerapkannya kedalam tanah di rumah kita, maka kita dapat membantu mencegah banjir dari rumah kita. (EAZ)

Berjalan Kali di Kota Lama Padang

BERJALAN KAKI DI KOTA LAMA PADANG
Pesona yang memudar dari sebuah kota jaman kolonial.

By ; Anoname

Sama dengan kebanyakan kota Nusantara, inti historis Kota Padang terletak di tepi seberang sungai, yang dulu digunakan sebagai jalur lalu-lintas ke pedalaman maupun sebagai pelabuhan buat komoditi-komoditi yang dibawa dari mulut sungai itu. Berkat pendirian dan perluasan Kota Padang pada abad-abad yang lalu di tepi-tepi sungainya yang bernama Batang Arau – telah berubah dari sebuah delta yang meliuk ke rupa yang kita kenali pada masa kini, bagian yang sekarang dinamakan Kota Lama telah tumbuh dekat benteng dan gudang-gudang kompeni Belanda yang didirikan disini dan disekitar permukiman-permukiman sadagar India dan Cina, yang semenjak bagian kedua abad ke 18 menjadi bagian kota tersendiri.

Rentetan dalam bagian-bagian tersebut yang pada hari ini masih terlihat dalam nama-nama jalan dan pembagian etnis adalah suatu warisan dari jaman kolonial. Pada kebanyakan kota Nusantara yang telah berada di bawah pemerintahan Belanda kelompok-kelompok etnis diberikan permukiman masing-masing yang selanjutnya dikepalai oleh orang-orang terkemuka dari masyarakatnya untuk mewakili para penghuni terhadap pemerintah Hindia Belanda. Dengan cara yang demikian kelompok-kelompok etnis tersebut dapat diperintah “sesuai dengan adat istiadat mereka masing-masing, artinya jauh lebih gampang manjajah masyarakat dan jika perlu memainkannya.

Pada tahun-tahun 1840, 1861 dan lagi 1897 kebakaran-kebakaran yang hebat telah menghapuskan bagian terbesar dari kota Padang, sehingga kebanyakan dari rumah-rumah tua yang masih terdapat pada masa kini baru didirikan pada akhir abad yang lalu. Di tepi sungai tumbuh gedung-gedung pemerintah Kolonial dan gudang-gudang perusahaan perdagangan yang dimiliki oleh Eropah dan Cina; disekitar pasar Tanah Kongsi sedikit kehulu sungai timbul bagian yang sekarang dinamakan Kampung Cina, dan selanjutnya didirikan Kampung Keling, bagian kota yang dihuni oleh pendatang-pendatang dari India. Pas disamping Kampung Keling itu dulu bermukim saudagar-saudagar dari Arabia dan Persia, ke hulu lagi berdiam orang yang berasal dari Nias dan pedagang Melayu dan Bugis. Baru di belakang ini terdapat rumah-rumah penduduk aslinya, yaitu orang Minangkabau.

Perjalanan pesiar kita mengelilingi kota lama akan membawa kita ke beberapa bagian daerah-daerah kota tersebut; berkat topografi kota lama tidak mudah melewati bagian-bagiannya satu demi satu, maka perlu beberapa ekskurs dan pembeberan. Sebagai pedoman dipinggir teksnya terdapat nomor-nomor yang biasa disesuaikan dengan peta kota yang terla,pir.

Pada masa kini begian terbesar dari masyarakat kota lama ini berasal dari bangsa Cina, dan sejarah dan cerita-cerita mereka akan mendampingi kita sebagai suatu benang-merah, jadi kita sebaiknya mulai dari pusat Kampung Cina itu, yaitu kuil yang terdapat di Jl. Klenteng.

Dalam rupanya yang terlihat sekarang ini, klenteng See Hin Kiong itu dibangun pada tahun 1861 diatas lokasi suatu tempat sebahyang agama Taoisme yang hancur oleh kebakaran. Yang mendirikannya ialah seorang pedagang kaya Cina yang bernama Lie Ma Saay diantara tahun 1860-84 pertamanya dengan gelar Kapitan dan selanjutnya sebagai Mayoor der Chinezen mewakili penduduk Padang yang berasal dari Cina terhadap pemerintah Hindia Belanda. Sampai sekarang ini dia masih terkenal sebagai salah satu orang terkemuka dalam sejarah penduduk Cina.
Sebagian besar dari anak-cucunya masih tinggal di Padang dan di kota-kota Indonesia yang lain – sewaktu Anda keluar dari klenteng nanti, Anda dapat melihat di sebelah kiri gedung himpunan keluarga Lie itu di ujung Jln Klenteng.

Bagian paling besar dari perlengkapan asliya klenteng ini didatangkan dari negeri Cina oleh anak-anak Lie Ma Saay tersebut, diantaranya juga patung-patung dan arca-arca para dewa-dewi dan orang kudus yang akan Anda lihat didalamnya. Pembangunan klenteng dikepalai oleh seorang arsitek dari Cina sendiri, dan sebagian dari tukang-tukang yang mengerjakan ukiran-ukiran dan sebagainya didatangkan dari sana pula. Di dalam Anda akan melihat di sekitar pertengahan dinding sebelah kanan sebuah dokumen berhuruf Cina yang menerangkan sejarah pendirian klenteng ini.

Kebakaran yang terjadi pada tahun 1897 itu telah merusak-beratkan klenteng ini lagi, sehingga sebagian bear perlu direhab ulang. Sebuah dokumen yang berhadapan dengan dokumen tadi di sebelah kiri dipasang ketika pemugaran tersebut diselesaikan. Walaupun begitu, di dinding-dinding bagian belakangnya masih terlihat sisa-sisa dari lukisan aslinya yang kehitam-hitaman dari asap api dan sudah hampir tak lagi bisa dicerna.

Tempat pendirian klenteng ini mengandung cerita tersendiri. Kabarnya bahwa dari salah satu blok di dalam atap ruangan pertamanha dulu menetes air ke bawah, dan disampaikan pula , bahwa di halaman depan pernah terdapat sebauh mata air, yang memiliki daya pengobatan. Pada masanya kuil ini dibangun, ia diarahkan ke sungai Batang Arau dan sebuah mata air disisi gunung di tepi sebelahnya. Akan tetapi ketika pada tahun 1895 seorang yang bernama Gho Cong mulai mendirikan gedung besar yang terlihat di ujung jalan itu, pemandangan tersebut ditutupi oleh sudut kanan gedung baru itu – dua keluarga Lie dan Gho telah lama bersaing erat dalam perdagangan, dan perselisihan itu mungkinlah salah satu alasan pemilihan tempat pendirian rumah tersebut. Pemandangan ke air yang sangat perlu itu telah diganti dengan sebuah kolam di halaman depan, tetapi di khabarkan bahwa pada waktu orang menaikan sebuah bola batu yang besar sebagai perhiasan diatas bubungan gedung baru itu, mata air yang di kelenteng telah mengering pula. Peristiwa itu menghangat pertentangan di antara dua keluarga tersebut, barulah keruntuhan perusahaan-perusahaan kedua keluarga itu dan pindahnya keluarga Gho ke Jawa menghentikan perselisihan mereka.

Sampai hari ini dikisahkan, bahwa seorang saudagar besar berbangsa Cina yang bernama Sam Po Kong yang bergelar Tay Djien (suatu gelar pangkat tinggi) tidak sempat mendarat di Padang, sebab kelentengnya tidak terlihat dari olehnya dari sungai dan oleh karena itu kebahagiaan orang Cina yang katanyanya dapat dijaminkan dengan keberadaaan di Padang, yaitu sukses dalam usaha-usaha mereka dibawanya ke Semarang di Jawa. Suatu cerita yang lain menerangkan, bahwa Sam Po Kong berpendapat Sungai Batang Arau sendiri tidak cocok untuk mendirikan perusahaan ditepinya. Saat air pasang dan surut berubah, arah aliran airnya berubah pula, maka dengan demikian nasib orang yang menghuni di pinggirnya bisa berubah juga. Katanya inilah alasan, bahwa jarang ada keluarga Cina yang dapat menjaga dan menahankan kekayaan lebih dari satu generasi saja – hal ini sekurang-kurangnya benar buat kebanyakan pemilik gendung Si Gho tersebut setelah dijualnya. Sekarang ini seorang pemilik baru gedung itu merencanakan mengganti sekurang-kurangnya tangga di sebelah dengan sebuah tangga baru di belakang gedung alhasil sebagian dari pemandangan ke sungai itu dapat dibuka lagi; atas permintaan-permintaan masyarakat Cina bola besar diatas bubungan sudah pada tahun 30-an diturunkan dan dibuang.

Kita sekarang berada di Jl. Batang Arau, yang dulu merupakan jalan promenade dan jalan pelabuhan. Sebelum terbukanya pelabuhan Teluk Bayur (1892) jalan ini tempat penyandar perahu dan kapal layar kecil maupun tongkang-tongkang yang mengantarkan muatan ke kapal samudera yang berlabuh di belakang Pulau Pisang Gadang, sehingga disinilah didirikan gudang-gudang dan perkantoran perusahaan-perusahaan Eropah dan Cina. Sampai sekarang kebanyakan gedung-gedung ini masih digunakan sebagai gudang dan harum kulit manis Padang adalah salah satu pelabuhan ekspor terpenting komoditi itu masih keluar gundag-gudang itu.

Rumah di depan gedung Padangsche Spaarbank (no. 22-24) adalah sebuah contoh baik akan arsitektur kolonial. Beberapa rumah dan gudang yang bersambung didirikan cara melingkari sebuah halaman dan dengan ini merupakan suatu unit tertutup. Di lantai bawah terdapat gudang-gudang barang, sedangkan di dalam lantai atas kantor-kantor ditempatkan; balkon yang mengelilingi kedua lantai itu memungkinkan, bahwa kamar-kamar atas dapat dimasuki dari luar lewat pintu bersayap dua yang besar. Pintu-pintu itu sekaligus berguna sebagai jendela dan berkat perlindungan dari atap dapat dibiarkan terbuka pula bila ada hujan. Seadainya pintunya tertutup, sirkulai udara dimungkinkan oleh jendela udara di atas kosen pintu yang pada bangunan induk ditutupi dengan kisi-kisi besi yang dihias-hias. Gedung ini sampai tahun 1958 adalah kantor pusat dari perusahaan Veth, sebuah agentur perniagaan Belanda.

Sepanjang jalan Batang Arau ke arah muara sungai terletak beberapa gedung zaman Belanda lainnya. Kebanyakan dari gedung-gedung itu dulunya adalah kantor dan gudang perusahaan Eropah yang bekerja di Padang, tetapi juga terdapat bekas gedung pemerintahan kolonial, gedung bank dan perkantoran lain – gedung Bang Dagang Negara (no 42), misalnya sebelum perang dunia kedua dipakai oleh Eskonmto Bank dari Belanda, dan diantaranya terletak rumah/tempat tinggal orang pribumi. Sebuah gudang khas Belanda memperlihatkan kesisi jalan sebuah fasade Klassizisme dan bubungan duberikan sebuah atap tambahan yang kecil yang berguna sebagai ventilasi dan merupakan suatu bagian fasade yang spesifik.

Dua contoh yang baik adalah gedung di samping kiri dan kanan Bank Dagang Negara tadi, no. 40 dan 44. Rumah no. 44 dulu kantor pelabuhan, no.40 sebuah gudang dari Perusahaan Borsumij, seperti Veth salah satu daru ‘si lima yang besar’. Lima perusahaan itu sampai tahun 1958 saat Soekarno mengambil alih milik-milik orang Eropah di Indoneisa – telah membagi-bagi pemasaran national Indoneisa di antara mereka.
Yang menyolok mata itulah beberapa perhiasan kecil berbentuk ombak yang terletak di sudut-sudut dan di bubungan, walaupun pada kedua rumah itu hampir serupa, perhiasan ini begitu jauh berbeda dari rupa fasade klasik yang dikelililngi oleh gedung-gedung kantor dan gudang pemerintahan dan militer. Gedung segi empat yang besar di sebelah jalan di bangun pada tahun 20-an abad ini dan digunakan sebagai kantor Javabank – kesamaan dengan gedung bank Eskomto tadi tetap terlihat. Kebanyakan dari gedung yang dulu terdapat di sini telah diganti dengan rumah-rumah baru, dan dari gudang-gudang dan kantor-kantor tua yang terletak ke arah hilir sungai hanya sedikit sekali yang masih berdiri pada masa kini.

Maka kembalilah kita ke gedung bekas Padangsche Spaarbank, jl Batang Arau no 33 tadi. Sedang memasuki lantai dasarnya dimana sekarang sebuah cafe ditempatkan, Anda akan melihat sebuah jendela berwarna-warni, yang menggambarkan dengan gaya art-deco yang sangat indah sebuah kembang terbuka. Diatas pintu-pintu lantai kedua maupun diatas pintu masuk lantai bawah yang lain terdapat jendela yang mirip – sama halnya dengan beberapa rumah lainnya di Padang yang dibangun dan atau dihuni oleh orang Barat dulu.

Banyak dari ciri konstruksi rumah no. 33 ini merupakan teknologi high-tech pada awal abad ini. Misalnya, lantai dua dibangun diatas sebuah konstruksi dari besi yang agak bersamaan dengan cara mengkonstruksikan lantai kayu yang terpakai dalam rumah-rumah yang lain, dan bidang-bidang di antara balok-balok besi tidak ditutupi dengan papan-papan kayu, tetapi dengan semen yang terpasang secara berkubah. Mungkin sekali ada rencana menyimpan barang-barang dagangan yang berat di atas lantai dua tersebu. Rumah ini kebetulan sudah terjual sebelum Tuan Gho sempat memakai sebagai gudang dan kantor. Selain dari pada ruangan kantor dan tresor yang dipasang selanjutnya (dilantai dasar Anda masih dapat melihat pintu tresor yang tebalnya 30 cm disamping meja bar kini) dan sebuah ruangan di bagian muka lantai kedua yang memungkinkan dimaksudkan sebagai perkantoran, sebelum perehaban tiada pembagian dengan dinding didalam gedung ini. Terhadap beberapa pemecahan soal-soal teknis yang dipertimbangkan dengan baik dan apalagi jendela-jendela yang ada pada masa itu masih cukup bersifat avantgarde dan mengesankan sekali dari segi seni-rupanya kita dapat menyangka, bahwa arsitek gedung ini tampaknya seorang yang canggih pada masanya dan sempat mengilhamkan aliran-aliran modern dalam kebudayaan Eropa dari Padang yang begitu berkejauhan itu.

Kalau Anda keluar dari rumah ini mengikuti jalan Batang Arau ke kanan, disebelah kiri Anda akan melihat kantor pusat perusahaan Cipta Niaga (no. 23), dahulu terpakai oleh sebuah perusahaan eksport-import dari Swiss dan selanjutnya kantor perusahaan Haremsen-Verbij dari Belanda. Meski kelihatan dari luar tidak menarik perhatian di dalam ruang tangga Anda bisa menemui tiga jendela art-deco indah lagi yang menggambarkan sebuah motif yang jelaslah memperingatkan teladan-teladan Eropah dari awal abad ini, cara menyususn tegel-tegel dari lantai pun dapat disaksikan dalam ruang-ruang tangga di Amsterdam, Berlin atau Paris. Perusahaan-perusahaan Eropah dulu cukup kaya dan merka sanggup mendatangkan jendela dan tegel yang demikian dari Jawa ataupun Eropah.

Kebayakan orang Cina yang berdiam di Padang juga pedagang dan seperti yang diceritakan diatas, mereka seringkali agar bersukses juga. Jika Anda memandang keluar dari jedela-jendela di dalam ruang tangga gedung Cipta Niaga tadi keseberang jalan, Anda dapat melihat di atas bubungan fasade sebaris tulisan NV Handel Maatschappij Hong Jang Hoo; dibangun 1912, rumah itu memperlihatkan sebuah fasade yang hampir serupa dengan fasade gedung keluarga Gho yang selanjutnya menjadi Padangsche Spaarbank. Orang-orang Cina kaya bangga, bahwa mereka mampu hidup bergaya Eropa. Misalnya, sudah pada tahun 1896 seorang pegunjung Padang dari Belanda memberi Lie Ma Saaij yang kita sebutkan diatas sebagai gentlement Cina, yang suka dan bisa main catur dengan baik, yang sering mengadakan pesta yang bergaya Eropa dan termasuk acara-acara paling meriah dalam kehidupan orang di Padang – dan mempunyai seorang anak lelaki yang tidak kurang pintarnya menyibukan diri dengan fotografi, suatu hobi yang pada masa itu sangat baru dan aneh buat kebanyakan orang Eropa sendiripun.
Pemerintah Beladan tidak begitu rela menyetujui atas penilaian itu. Dalam laporan tentang seorang anak lelaki Lie Ma Saaij yang mengikuti ayahnya menjadi penghulu orang Cina di Padang disebutkan, bahwa ialah “bertingkah laku dengan sopan” dan “sangat kaya” tetapi “tidak begitu pintar, malas, intrigan” dan “tidak pantas dipercaya”. Ia senang kalau dipuji, dan untunglah walaupun keluarganya memegang monopoli penjualan candu sampai laranngnya obat bius itu sendiri ternyata tidak sampai merokok candu.
Pas disamping gedung kantor Cipta Niaga Anda dapat melihat sebaris rumah kombinasi tinggal/perusahaan besar yang sangat khas di kota lama ini. Dilantai dasar terletak ruangan gudang yang luas, dan sebuah tangga yang terpasang di samping luar naik ke suatu balkon yang sering ditutupi dengan jendela dari mana orang dapat memasuki kantor-kantor dan ruang-ruang tinggal di lantai atasnya. Konstruksi pembalokannya yag menahan lantai kedua itu mirip di hampir rumah demikian – biasanya beberapa tiang kuat memikul balok-balok induk dari kayu besi yang berat dan besar yang membenteng diatas keseluruhan lebar atau panjangnya rumah , dan diatasnya terpasang balok-balok anak dan lantai kayunya. Didalam beberapa rumah bagian-bagian dari konstruksi ini diganti dengan balok besi atau pilar dari batu bata, sedangkan balok-balok anak maupun papan lantai atasnya selalu dibuat dari kayu. Seringkali didalam bahagian belakang rumah terdapat sebuah halaman terbuka ke atas yang dilingkari oleh sebuah balkon dari mana orang dapat memasuki kamar-kamar tinggal yang tersusun sekelilingnya. Sekarang ini kebanyakan dari halaman-halaman itu sudah tertutup oleh bangunan-bangunan yang baru.
Para pemilik rumah yang begitu dahulunya biasanya pedagang-pedagang Cina dan ruangan di dalam sering digunakan sebagai kantor maupun tempat tinggal para pegawai dan keluarganya sendiri. Beberapa gedung terpakai perusahaan Eropahpun, minsalnya dibawah papan lambang Cipta Niaga pad rumah nomor 21 terdapat tulisan Societa Commisionaria di Isportazione di Importazione incorporated in Switzerland yang masih dapat dicerna. Didalam lantai atas rumah disampingnya, no 19, masih terdapat hampir semua perlengkapan perkantoran yang sudah bertahun-tahun tak terpakai lagi. Bertanyalah diruangan gudang di bawahnya akan kunci untuk tangganya, dan diminta agar khususnya dua lemari besi berhias-hiasn itu diperlihatkan kepada Anda. Dalam rak-rak sampel-sampel komoditi dari tahun 1950an ditemui, dan beberapa meja tulis dengan tempat-tempat penyimpanan aket, botol-botol tinta dan pelancip potlotnya kelihatan seperti baru saja ditinggalkan.

Setelah jalan kita menyeberangi sebatang kali kecil ciri-ciri bangunan-bangunan disampingnya akan berubah. Buakn lagi gudang-gudang yang dibangun dari batu, melainkan rumah-rumah kayu bergaya melayu yang didirikan diatas tiang-tiang dapat Anda lihat disebelah kanan. Sampai akhir abad yang lalu disini terdapat sebatang sungai Batang Arau yang baru ditutupi ketika rel kereta apai dan setasuinnya di bangun. Oleh karena itu stasiun kereta api yang sudah lama ditinggalkan dinamakan Stasiun Pulau Air, ruangan stasiun ini , gudang-gudangnya dan rel-rel serta wesel-weselnya maupun pengisi air buat lok-lok stom masih ada dan pada hari ini digunakan sebagai tempat pertemuan penduduk disekitar di mana pada hari Sabtu dan Minggu pertandingan layang-layang diadakan. Sebagian dari bangunan stasiun sekarang di digunakan sebagai kantor ekspedisi, dan sampai hari ini belum ada perubahan yang mendalam, loket-loket penjualan karcis, tanda-tanda dari jaman Belanda dan papan lambang stasiun masih terlihat didalamnya. Pas dibuka pintu masuk Anda dapat melihat sebuah kamar kayu kecil dari jaman Belanda di sebelah jalan ( no.44), rumah itu termasuk perumahan yang disiapkan buat para pegawai perusahaan kereta api, dan ciri-ciri konstruksinya mewakili dengan baik cara pembangunan dijamannya.

Sekarang kita berada di suatu bagian kota yang sampai pertengahan abad ini dihuni oleh anak-cucu imigran-imigran dari India, yang oleh sebab itu dinamakan Kampung Keling. Menurut tradisi setempat, orang-orang India pertama yang daatang ke Padang ialah tiga orang lelaki yang bersaudara bersama dua orang kawan mereka yang berasal dari sebuah kampung dekat Pondicherry, suatu kota dipesisir timur India Selatan. Mereka sekitar pada akhir abad yang ke 18 menetap di Padang sebagai sudagar, dan disini menikah dengan wanita Nias, Minangkabau dan Melayu. Lambat laun saudagar-saudagar dan pelaut-pelaut India yang lain dari pelbagai daerah di India Selatan merasa tertarik dengan oleh kegiatan perdagangan mereka, dan ikut pindah ke Padang pula.

Dalam arsip-arsip Belanda tercatat bahwa pada tahun 1828 seorang Belanda bernama Van de berg yang sudah lama tinggal di Padang membuka suatu kebun besar di daerah Pauh, dimana terutama orang-orang yang dipanggil dari Madras dan Pondicherry dipekerjakannya. Jumlah pendatang begitu banyak, bahwa sudah pada tahun 1833 suatu pasukan Klingaleezen dan Sipahis (yang terakhir ini adalah suatu suku India, yang sering bekerja sebagai tentara sewaan buat Pemerintah Kolonial Inggris) di bawah pimpinan seorang Letnan Klas II dapat didirikan guna perlindungan bagian kota yang dihuni mereka. Mulai dengan pertengahan abad yang laluorang Indialah yang memegang sebagian besar dari perdagangan kain dan sarung palaikat, hasil bumi dan lain-lain. Akan tetapi juga terdapat pedagang dan pengusaha kecil seperti tukang-tukang kaleng atau tukang yang membuat alat-alat lain dari seng. Pada perjalanan Anda di jalan Batipuh Anda masih dapat menyaksikan beberapa jenis hasil bumi yang dikeringkan dipinggir jalan dan beberapa bengkel kecil yang masih bekerja.
Berlawanan dengan orang-orang Cina imigran-imigran dari India ini telah beradaptasi baik dengan adat istiadat tetangga mereka yaitu orang Melayu dan Minangkabau. Misalnya, hampir semua upacara pernikahan yang dilakukan orang India pada masa kini mengikuti pola adat Minangkabau yang bersifat matrilinial, sedangkan dalam organisasi sosial masih banyak tatanan bilateral (artinya mengikuti garis lelaki maupun perempuan) yang dibawa dari India dipertahankan. Bahkan peristilahan kekerabatan hampir seluruhnya berasal dari bahasa-bahasa India. Orang yang sudah agak lanjut usia sering kali pula masih menggunakan suatu bahasa pidgin yang mencampurkan elemen-elemen bahasa Urdu dan Tamil, dua bahasa India dengan bahasa Melayu dan bahasa Minangkabau.
Jika Anda mengikuti jalan Batipuh ini ke arah barat, maka sebelah kiri Anda akan melihat suatu mesjid yang sangat menonjol. Dalam arsitektur mesjid itu banyak motif yang berkesamaan dengan rumah xxx tadi terdapat lagi – terutama perhiasan-perhiasan di atas pilar-pilar memperigatkan teladan mesjid-mesjid di Arabia dan India. Tidak mungkin lagi menjelaskan , apakah mesjid ini tertua di Padang. Katanya, dalam mesjid Muhamadan dulu terdapat sebuah balok yang ditulisi dengan tanggal pasangannya, tetapi dengan menjalani perubahan-perubahan pada tahun-tahun yangsilam balok itu sudah tidak ada lagi.
Tentang pendirian mesjid ini diceriterakan, bahwa disekitar awal abad yang lalu salah satu orang penduduk Kampung Keling ini berkebiasaan memancing di sungai Batang Arau, dan pada saat-saat sembahyang dia memenuhi kewajiban pas pada tempat mesjid ini. Terkhir dia membangun suatu villa kecil guna melindungi dirinya dari kesusahan cuaca dan sementara Kampung Keling membesar, villa itu dibangun menjadi suatu mesjid.
Biar begitu, yang dengan tetap masih diketahui adalah bahwa saudagar-saudagar dan pelaut-pelaut yang datang dari India dan berlabuh dengan kapal mereka di Sungai Batang Arau menggunakan tempat mesjid ini sebagai tempat sembahyang mereka. Saat mesjid ini direhab dari dalam, banyak pecahan keramik didapatkan dalam tanah di bawah bagian-bagian belakangnya. Tepi sungai Batang Arau dulu sampai ke belakang rumah-rumah sebelah kiri Jalan Batipuh dan sebagian dari jalan ini digunakan sebagai pasar dan pelabuhan kapal-kapal saudagar India.
Data-data sejarah yang pasti baru kita dapatkan berkaitan dengan seorang yang bernama Muna Kadar. Sebagai seorang pedagang kain yang kaya pada awal abad ini, dia menyumbangkan sejumlah uang yang dipergunakan untuk memperbaiki dan merehab Mesjid Muhamadan yang pada saat itu sudah cukup tua. Bersama rekan-rekanya mereka merubah mesjid tersebut yangsebelumnya dibuat daru kayu menjadi sebuah bangunan dari batu seperti yang terlihat sekarang. Didalamnya terdapatsebuah kolam yang digunakan untuk menyimpan air wudhu, kolam tersebut sudah dicatat diatas peta-peta dari arsip Belanda pada saat Muna Kadar memohon ijin perehaban mesjid. Kolam itu agak besar bentuknya, dan ternyata sudah sejak dahulu berisi ikan – sebagian dari ikan-ikan yang terdapat di dalamnya sekarang kelihatan sudah sangat tua. Sebuah kolam kedua yang ada dibelakang mesjid telah ditutup ketika mesjid ini direhab dari dalam, dan lantai di atasnya sekarang dijadikan tempat sembahyang. Kolam itu satui-satunya yang masih terdapat di mesjid yang ada di Padang dan airnya dianggap sebagai sesuatu yang mengandung daya penyembuhan – sampai sekarang banyak orang berdatangan dari jauh untuk mengambil air tersebut guna mengobati perlbagai macam penyakit.

Pada tahun 1824 seorang tentara Belanda yang ditugaskan di Padang, Kolonel Nahuys melaporkan, “ Mengenai rumah-rumahnya, aturan pembangunan dan keadaannya. Padang adalah tempat yang paling lusuh dan tak teratur yang dihuni orang Eropah yang sampai sekarang saya lihat di Hindia, dan saya dengan sesungguhnya dapat mengatakan, bahwa di seluruh Padang saya tak melihat tiga rumah yang baik. Jembatan-jembatan dan jalan-jalan sangat tidak teratur dan tidak terpelihara. Kebanyakannya tidak dapat penukaran udara dari angin, dan kelihatannya tak berbeda dari jalan-jalan setapak di dalam ladang pohon nipah dan rumput alang-alang. “Akan tetapi, sudah pada tahun 1881 E.Netscher, gubernur Sumatera Barat yang diantara tahun 1870-78 berdomisili di Padang nmengatakan: “ Siapa yang dapat dalam lukisan itu mengenali kembali sejejak pun dari Padang masa kini, dengan penduduk yang banyak, jalan-jalan yang lebarnya dapat ditempati lalu-lintas yang padat, gedung-gedung pemerintah yang anggun dan rumah-rumahnya yang pantas danindah. Kota ini, yang sekarang memberikan kemakmuran kepada ribuan orang dalam ketertiban dan keamanan; suatu kota yang menjadi tempat ke… buat kebanyakan orang Eropa yang telah menghuninya, ke mana mereka dalam pikiran-pikiran selalu dengan rasa senang. Mungkin benar, bahwa disini kekayaan yang besar tidak didapat, dan Padang oleh karena itu tidak begitu berkepentingan buat orang yang cari uang, akan tetapi, siapa yang telah berdiam disini selama beberapa tahun saja merasa berhubungan erat dengan Padang. Dan pada tahun 1919 ditulis :”Sungguh, entah Kolonel Nahuys dibiarkan memandangi Kota Padang dalam keadaan hari inisekalis aja, maka dia pasti tidakd apat mengenali lagi Padang yang dulu itu.

Riwayat Hidup Eko Alvares Z

Nama : DR. Ir. Eko Alvares Z, MSA, IAI

Tempat/Tgl. Lahir : Padang Panjang, 10 Maret 1965

Pekerjaan : Arsitek Madya Bersertifikat, Anggota IAI 2765, sejak tahun 1991

Pendidikan :

a) Sarjana Arsitektur Universitas Katolik Parahyangan Bandung, 1991

b) Magister Teknik Arsitektur, Institut teknologi Bandung, 1993

c) Doktor, Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Tahun 2002.

Email : ekoalvares@yahoo.com

Organisasi Pendidikan dan Profesi:

a) Direktur Sekolah Profesional dan Pendidikan Berkelanjutan, Univ Bung Hatta, sejak April 2008

b) Kepala Pusat Studi Konservasi Arsitektur, Jurusan Arsitektur, Univ Bung Hatta

c) Ketua Dewan Pengurus Daerah IAI (Ikatan Arsitek Indonesia), Sumatera Barat, 2004-2007

d) Ketua Kehormatan IAI (Ikatan Arsitek Idnonesia), Sumatera Barat, 2007-2010.

e) Ketua Jurusan Arsitektur, Univ Bung Hatta, 2006-2007

f) Anggota Asosiasi Konsultan Pembangunan Perumahan Indonesia (AKPPI)

g) Anggota Profesional Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Anggota No. 2765

h) Anggota Ikatan Alumni Arsitektur UNPAR

i) Anggota Ikatan Alumni Institut Teknologi Bandung (ITB)

j) Anggota KAGAMA (Keluarga Alumni Gadjah Mada)

k) Asosiasi Pendidikan Teknik Arsitektur Indonesia (APTARI)

Organisasi Kemasyarakatan:

a) Koordinator modern Asian Architectrue Network (mAAN) Indonesia, 2005

b) Dewan Pimpinan, Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI), sejak 2007-2010

c) Dewan Penasehat Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI), sejak 2004-2007

d) Anggota Dewan Pakar Perhimpunan Bandar Lama Nusantara, Cabang Padang, 2005

e) Staf Ahli Walinagari Kotagadang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat

f) Pendiri Komunitas Siaga Bencana KOGAMI, Sumatera Barat, 2005

g) Anggota Jaringan Pelestarian Pusaka Indonesia (JPPI), sejak 2002

h) Anggota Jaringan Sumatera untuk Konservasi Budaya (Pansumnet), 2000

Proyek 2007

a). Team Leader Penataan Kawasan Wisata Benteng Bukit Kursi, Pulau Penyengat, Provinsi Kepulauan Riau, Depatemen Budaya dan Pariwisata, Dirjen Destinasi Wisata.

b). Ketua Tim Rehabilitasi Masjid Rao-Rao, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.

c). Arsitek pada Penyusunan Master Plan Masjid Rao-Rao, Kabupaten Tanah Datar.

d). Team Leader pada Penataan dan Konservasi Kawasan Strategis Pusat Kota Batusangkar, Sumatera Barat, 2007

e). Arsitek pada Perkerjaan Perencanaan dan Konservasi Museum Bak Indonesia, Muaro, Padang

f). Arsitek pada Pra-Penyusunan Master Plan Kompleks Gubernuran Provinsi Sumatera Barat.

g). Arsitek pada Proposal Penyusunan Master Plan Kompleks Kantor Gubernur Provinsi Sumatera Barat.

h). Team Leader Penyusunan Pedoman Rencama Tata Bangunan dan Lingkungan Kawasan Rawan Longsor, Dirjen Cipta Karya, Departemen Perkerjaan Umum

i). Team Leader Penyusunan Master Plan Kebun Raya Liwa, Sekjen Departemen Perkerjaan Umum.

j). Co-Team Leader Perencanaan Ruang Kota Terpadu Bukittinggi, Dirjen Penataan Ruang Departemen Perkerjaan Umum.

k). Co-Team Leader Master Plan Pariwisata Kawasan Mandeh,Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kabupaten Pesisir Selatan dan Provinsi Sumatera Barat.

l). Tim Persiapan Pembangunan Kembali Pusat Kajian Kebudayaan Minangkabau, Pagaruyung, Batusangkar Sumatera Barat.

Seminar dan Publikasi 2007

a. Tinjauan Budaya Keselamatan dalam Transportasi, Seminar Nasional Menuju Sarana Transportasi Yang Aman, Murah, Padang Ekspres, Mei 2008.

b. Field Work pada Arsitektur Tanggap Bencana, Kuliah Kerja Lapangan Arsitektur, Universitas Bung Hatta Padang.

c. Budaya Lokal, Praktek Konstruksi dan Program RekonstruksiSeminar Seminar dan Workshop Building Back Better in West Sumatra: Shelter Reconstruction Lessons Learnt from Previous Disasters, Saturday the 21st of April, Aula Ged B, Bung Hatta University, Padang

d. Ketua Tim Ahli Klinik Konstruksi Sumatera Barat, Penanganan Pasca Gempa di Sumatera Barat.

e. Seminar Diskusi Padang, Sejarah dan Budayanya, Museum Adityawarman, Dinas Pariwisata Seni dan Budaya, Provinsi Sumatera Barat, 8 November 2007

f. Bencana Gempa Bumi di Sumatera Barat, Diskusi Internal BPPI, Jakarta

g. Peserta Kongres Badan Pelestarian Pusaka Indonesia di Denpasar Bali, 2007

h. Kelompok Kerja Heritage Emergency Response Badan Pelestarian Pusaka Indonesia.

Tahun 2006

a) Ketua Tim Perumus, Perencanaan Pemindahan Ibu Kota Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat.

b) Team Leader pada Bantuan Teknis Proyek Revitalisasi Kota Bandaneira, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku.

c) Team Leader pada Proyek Bantuan Teknis Revitalisasi Kampung Gamelan, Kampung Langenastran dan Alun-Alun Selatan Kraton Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta.

d) Arsitek pada Perkerjaan Revitalisasi Gurbernuran, Rumah Jabatan Gubernur dan Wakil Gurbernur, Sumatera Barat

e) Arsitek pada Penyusunan Tata Ruang Kawasan Pusaka Kota Gadang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.

f) Arsitek pada Revitalisasi Kota Sawahlunto, Sumatera Barat.

g) Arsitek pada Revitalisasi Ruang Pendidikan Bung Hatta, Batuhampar, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat

h) Fieldwork Menuju Kawasan Pusaka Dunia, Nagari Pasir Talang dan Nagari Koto Baru Kecamatan Sungai Pagu, Kabupaten Solok Selatan, Kuliah Kerja Lapangan Jurusan Arsitektur, FTSP Universitas Bung Hatta, 19 Februari s/d 2 Maret 2006

i) Pengalaman Konservasi Di Indonesia, Presentasi di KALAM, Jurusan Seni Bina University Teknologi Malaysia, februari 2006.

j) Dari Tukang Tuo ke Arsitek, Tulisan di Majalah Arsitektur Indonesia, Vol 3 No 2. Ikatan Arsitek Indonesia Nasional.

Tahun 2005

a) Supervisor pada Bantuan Teknis Revitalisasi Kota Bukittinggi, Sumatera Barat.

b) Seminar Internasional modern Asia Architecture Network, Urban Heritage in Jakarta, Unversitas Tri Sakti dan University of Tokyo, Jakarta Desember 2005.

c) Seminar dan Workshop, Capacity Building For Heritage Conservation, Sumatera Network fot Heritage, held by Bangka and Palembang Heritage Society, Sumatera Heritage Trust, Nederland Embassy, Urban Solution, Bangka dan Palembang 3-9 July 2005.

d) Fieldwork Jaringan Pusaka Sumatera: Pangkal Pinang, Menumbing, Muntok, Palembang, 3-9 July 2005, Jaringan Sumatera Untuk Konservasi Budaya.

e) Diskusi Belajar Dari Aceh Barat dan Migitasi Bencana Sumatera Barat, Diskusi FTSP-UBH, Juli 2005.

f) Potensi dan Permasalahan Konservasi Arsitektur di Sumatera Barat, Diskusi Restropeksi Pelestarian dan Pemanfaatan BCB dan Situs, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala, Batusangkar, 13 Juni 2005.

g) Belajar Dari Aceh Barat, Diskusi Masyarakat Peduli Gempa dan Tsunami Sumatera Barat, 13 Mei 2005.

h) Rakernas Ikatan Arsitek Indonesia, Sanur Bali, 22-25 April 2005

i) Belajar Dari Aceh Barat, Pelatihan Kode Etik dan Strata, DPD IAI Sumbar 6-10 April 2005

j) Fieldwork, Building Assessment Damages, Kabupaten Aceh Barat, Dirjen Perumahan Permukiman, International Organitation for Migration, AKPPI, 14 s/d 29 Maret 2005.

k) Kawasan Pusaka Koto Gadang, Ceramah Pulang Basamo Ikatan Ibu-Ibu Kotogadang, Nagari Kotogadang, 3 April 2005

l) Etika Profesi, Kursus Pembinaan Profesi Insinyur (KPPI) dan Workshop Sertifikasi Insinyur Profesional I, Persatuan Insinyur Indonesia, Wilayah Sumatera Barat, Padang, 4-5 Maret 2005

m) Rapat Kerja Nasional, Koordinator Provinsi Sumatera Barat untuk Konsultan Manajemen Pusat, Proyek Permukiman dan Perumahan, Kimpraswil, 2004

n) Fieldwork Nagari Koto Gadang dan Nagari Rao-Rao, Menuju Kawasan Pusaka, Februari 2005

Tahun 2004

a) Koordinator Provinsi Sumatera Barat untuk Konsultan Manajemen Pusat, Proyek Permukiman dan Perumahan, Kimpraswil, 2004

b) Training Capasity Building For Heritage Conservation in Sumatera, 5-11 Oktober 2004, Pusat Studi Konservasi Arsitetur, FTSP-UBH, Badan Warisan Sumatera, Urban Solution.

c) Rakernas Ikatan Arsitek Indonesia, Jakarta

d) International Workshop, Understanding West Sumatera Heritage: Padang, Sawahlunto dan Bukittinggi, collaboration Research Institut Science and Industri, The University of Tokyo dengan Jurusan Arsitektur Universitas Bung Hatta.

e) Field Work dan Pembimbing Kuliah Kerja Lapangan Mahasiswa Arsitektur di Nagari Rao-Rao dan Lima Kaum, Kabupaten Tanah Datar.

f) Petemuan Pembentukan Badan Pelestarian Pusaka Indonesia, 17 Agustus 2004 di Kementrian Budaya dan Pariwisata, Jakarta.

g) Pengkuran Konservasi Mesjid Raya Sumpur, Kabupaten Tanah Datar.

h) Pertemuan Tahunan Jaringan Konservasi Untuk Sumatera, Bengkulu.

i) Pembinaan, Pelatihan Lanjutan Teknis Pendampingan Masyarakat Bidang Perkim, 29-30 September 2004, Dinas Tarkim Sumbar.

j) Diskusi Pembangunan Nagari Koto Gadang, di Jakarta.

Tahun 2003.

a). Conservation Planing of Minangkabau Hinterland, Kerjasama Pusat Studi Pelestarian Pusaka Budaya UGM dan Toyota Foundation, Jurusan Arsitektur UBH.

b). Field Work Manajemen Konservasi Kawasan Pusaka Budaya di Beberapa Nagari Tanah Datar.

c). Arsitektur Kota, Demokrasi dan Humanisme, Orasi Ilmiah pada Dies Natalis ke XII UBH Padang, 21 April 2003.

d). Morfologi Kota Padang, Masa Lalu dalam Kondisi Sekarang dan Mendatang. Sarasehan Reorientasi Arah Perkembangan Kota Padang Dalam Dimensi Perencanaan Kota Maas Depan, Pemko Padang, 13 Mei 2003.

e). Pelatihan Tenaga Pelatih ( TOT ) Tenaga Teknis Penyusunan RP4D di Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pegawai Jakarta dari Tanggal 7 s/d 11 Juli 2003.

f). Pelatihan ICZPM (International Coastal Zone Planning and Manajement) Project MCRMP Sumatera Barat, 2003

g). Seminar Menuju Permukiman Madani, Dinas Tata Bangunan Sumatera Barat, 2003

Tahun 2002.

a). A Study on the Urban and Rural Conservation Planning of Minangkabau Hinterland. Second year of activity focuses on the Urban Case Studies, Padang, Bukittinggi, Sawahlunto, Batusangkar – Study Group for Architecture and Urban Haritage Conservation – Departement of Architecture, UGM.

b). Seminar Urban Tourism Giving New Life To Urban Core, Ministy of Settlements and Regional Infrastructur, Asean Association For Planning and Housing, Provincial Government of Special Region Yogyakarta, Februari 2002.