Eko Alvares Z

Minggu, 04 September 2011

Padang: Masa Lalu Dalam Masa Sekarang



Balai Kota Padang yang terletak di Kawasan Lapangan Imam Bonjol, dulu namanya Plein van Rome, belakangan menjadi Ruang Terbuka Imam Bonjol. Bangunan ini selesai dibangun pada tahun 1938 dan dirancang oleh Thomas Karsten, seorang arsitek perencanan kota yang bekerja sebagai penasehat kolonial tentang perencanaan kota.
Melihat foto di atas, kita dapat melihat kawasan ini yang masih asri, bersih dan bangunan yang masih dinikmati dengan baik. Diperkirakan foto ini dibuat sekitar tahun 1960-an.


Foto di bawah diambil bulan Juni 2011, terlihat semakin ramai dan tidak tertata kawasan di depan Kantor Balai Kota ini. Pedagang kaki lima, parkir mobil, kepadatan lalau lintas membuat kawasan ini menjadi semakin tidak tertata dengan baik.







Rabu, 31 Agustus 2011

Arsitektur Bung Hatta: Dari Tukang Tuo sampai Arsitek Bangku Kuliah

Arsitektur Bung Hatta: Dari Tukang Tuo sampai Arsitek Bangku Kuliah

Catatan Perjalanan Jurusan Arsitektur Universitas Bung Hatta

Eko Alvares Z

Apabila ingin bertutur tentang Arsitektur, tentu tidak terlepas dari Tokoh dan Karya. Demikian pula, apabila ingin berkomentar tentang lembaga pendidikan Arsitektur, tentu akan menyentuh tentang Alumni dan Karya-karyanya. Apalagi ini menyangkut sebuah institusi dan komunitas, yang secara kuantitas mempunyai keterkaitan emosi dari lebih tiga ribu alumninya dan karya arsitektur yang menyebar di Nusantara dan mancanegara.

Tulisan ini berusaha menjelaskan perjalanan Jurusan Arsitektur Universitas Bung Hatta, sejauh yang disaksikan atau diikuti perkembangannya oleh penulis, dan sejauh ingatan yang mempu merekam perjalanan, yang nyaris sepanjang karir penulis sebagai staf pengajar lebih kurang 20 tahun. Sumbangan secuil ini diharapkan dapat membantu para alumni dan staf pengajar untuk merefleksi diri, dan memupuk semangat serta pikiran kritis dalam rangka membangun dan mengembangkan institusi ini.

1. Alumni dan Almamater.

Alma mater, atau kadang-kadang ditulis tersambung sebagai almamater, adalah istilah dalam bahasa Latin yang secara harafiah berarti "ibu susuan". Penggunaan istilah ini populer di kalangan akademisi untuk menyebut perguruan tempat seseorang menyelesaikan pendidikanya. Banyak orang berpendapat, bahwa orang-orang tersebut diberi nama “alma mater” yang berarti “ibu pengasuh” atau “ibu yang memberikan ilmu,” yang sampai saat ini kita kenal dengan kata “almamater” dalam berbagai warna atau perspektif. Anak-anak tersebut kemudian diasuh dan diberikan bekal ilmu pengetahuan oleh almamater.

Terlepas dari sedikit mengesampingkan semangat yang muncul dari awal istilah almamater, namun secara nyata dalam tiap institusi pendidikan terdapat tanggung-jawab terhadap peserta didiknya atau calon alumninya, serta terdapat proses saling alih ilmu atau pengetahuan dari pendidik ke peserta didik, kemudian dari peserta didik sebelumnya ke peserta didik berikutnya. Sense of belonging adalah salah satu ciri yang mendasar, dan terlebih lagi “roh” dari intitusi pendidikannya akan lebih melekat dan mendorongnya untuk mengimplementasikan pendidikan dan pengajaran yang bercirikan institusi pendidikan tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa individu tersebut tanpa dipaksa, ia telah memiliki tanggungjawab untuk mengembangkan dan mengharumkan nama baik almamaternya.

Kecintaan alumni dan almamaternya bak kecintaan akan rumah, keluarga, bangsa, bahkan akan dirinya sendiri. Kecintaan akan almamater adalah pegangan untuk keberlangsungan almamater itu sendiri. Dengan demikian almamater dapat dikatakan sebagai simbol dari tanggungjawab, totalitas bahkan militansi. Tanpa itu, almamater akan berputar formal dan menuju degradasi esensi, termasuk pula setiap individu di dalamnya (lunturnya ciri, semangat atau idealisme, dan sebagainya). Tanggungjawab holistik ini pula yang menunjukan absurd atau tidaknya keberadaan tiap alumni, untuk mempertahankan eksistensi dirinya di dalam sebuah almamater.

2. Tokoh dan Karya Arsitektur

Salah satu indikator terpenting dari kesuksesan sebuah lembaga pendidikan, khususnya pendidikan arsitektur adalah ditentukan tokoh dan karya para alumninya. Tokoh atau yang kemudian menjadi tokoh adalah sosok yang dapat mewakili dari sekian ribu yang mampu dia wakili. Melalui tokoh ini pula kita bisa merefleksikan kehebatan pendidikan yang mampu menghasilkan para alumni yang handal dan dapat dipercaya.

Berbeda dengan alumni bidang ilmu lain, buah pikir dari tokoh tersebut adalah karya arsitektur, yang terwujud secara nyata berupa benda (bangunan bahkan sebuah bagian kota) diantara kehidupan manusia atau masyarakat yang dilayaninya. Karya arsitektur tidak tersimpan dengan rapi di laci atau dalam lemari. Tetapi dia hidup dan di apresiasi dalam sebuah lingkungan budaya dan sosial. Dalam kata lain, karya arsitektur akan merefleksikan dengan cepat siapa yang merancang dan berikutnya akan ditanya: Alumni mana Dia ? Oleh karena itu, pertanyaan berikutnya adalah karya-karya para Alumnus akan berbicara dan bercerita dengan sendirinya tentang Almamaternya.

3. Pasang Surut Pendidikan Arsitektur

Setidaknya ada tiga periode yang dapat diidentifikasi dalam sejarah pendidikan arsitektur di Indonesia. Jika kita letakkan periodesasi ini ke dalam perkembangan pendidikan dan profesi arsitek di Sumatera Barat tidak akan jauh berbeda, meski ada beberapa penekanan di beberapa titik-titik tahun yang mewarnai kondisi regional ataupun lokal. Untuk jurusan Arsitektur Universitas Bung Hatta, saya membagi berdasarkan setidaknya 4 periode:

Periode satu, sejak didirikan tahun 1965 sampai dengan 1981, dapat dikatakan ini adalah perletakkan dasar-dasar pendidikan arsitektur di Sumatera Barat. Setahu saya, pendidikan arsitektur di perguruan tinggi di Sumatera Barat umumnya dan di Padang khususnya didirikan dengan semangat yang sangat heroik, sejalan dengan pembangunan daerah yang perlu dipacu setelah masa pergolakkan yang dikenal dengan PRRI setelah tahun 1959. Meski tertatih-tatih melewati masa tersebut, kemudian disambut lagi oleh masa peristiwa 30 September 1965, yang kedua peristiwa tersebut juga berdampak kepada situasi politik dan ekonomi di Sumatera Barat. Pendidikan arsitektur mulai bersemi ketika masa pembangunan fisik pasca PRRI menjadi prioritas utama setelah tahun 1970-an.

Saya mendengar dan mendapat cerita segelintir nama, alumni perguruan tinggi di Jawa, yang ketika itu masih sangat muda, kembali ke kampung halaman dan memulai karir sebagai pegawai pemerintah dan swasta. Kebutuhan akan tenaga teknik memang sangat tinggi, karena proyek-proyek pemerintah mulai berkembang, mencari bentuk yang pas dalam pembangunan di daerah. Dalam kondisi inilah tumbuh dan berkembang pendidikan arsitektur dalam segala keterbatasannya. Sejarah mencatat, bahwa salah satu pendidikan tinggi teknik tertua di luar Jawa adalah Institut Teknologi Sumatera Barat (ITSB). Jikalau orang bercerita tentang sejarah berdirinya pendidikan Teknik Arsitektur di ITB, UI, UGM dan ITS, pada masa yang sama pula pendidikan tersebut hadir di Sumatera Barat. Beberapa hal yang bisa dicatat tentang adalah pendidikan masih sistem tingkat, dengan sajian kurikulum banyak dipengaruhi oleh pendidikan tinggi di Jawa.

Karakter pendidikan saat ini lebih banyak diwarnai oleh praktek, pembuatan tugas yang banyak, pelaksanaan studio arsitektur yang secukupnya, namun menuntut mahasiswa menjadi lebih mandiri dan mencari sendiri, di antara kelangkaan dosen dan asisten. Akhir tahun 1970-an dan memasuki era tahun 1980-an, bagi pendidikan tinggi swasta diperlukan ujian negara, yang tidak mudah ditempuh, selain harus pergi ke kota lain dan dengan ujian yang diadakan oleh dosen yang lain pula. Generasi yang belajar dan lulus di periode ini lebih banyak merasakan pendidikan menggambar yang baik serta pengetahun membangun (baca; konsturksi) yang sangat memadai.

Periode ke dua, memasuki era 1980-an, dekade ini dikenal sebagai periode pasca NKK-BKK, dimana kegiatan mahasiswa harus pintar-pintar mencari bentuk yang pas diantara ketatnya pengawasan terhadap himpunan dan senat mahasiswa. Mahasiswa arsitektur di Indonesia cukup beruntung karena dengan cepat menyesuaikan diri, dengan membungkus kegiatan pembinaan karir mahasiswa melalui Temu Karya Ilmiah Mahasiswa Indonesia (TKI-MAI). Melalui kegiatan inilah segala bentuk informasi dan aktivitas mahasiswa bisa disebarkan dengan cepat ke seluruh institusi pendidikan arsitektur di Indonesia.

Pada era ini pula, pemberlakuan sistem kredit semester sejumlah lebih kurang 160 SKS mulai dimatangkan. Pendidikan arsitektur dengan sistem tingkat berubah dalam satuan waktu tertentu. Sistem perkuliahan menuntut manajemen pendidikan yang lebih baik pula. Studio memegang peranan penting, baik studio perancangan maupun konstruksi.

Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Bung Hatta didirikan pada dekade ini, merupakan integrasi dari Institut Teknologi Sumatera Barat yang sudah berkembang sejak tahun 1960-an. Dua jurusan teknik yaitu Teknik Sipil dan Teknik Arsitektur memberikan kontribusi yang besar bagi berdirinya universitas ini di tahun 1981. Praktek pendidikan arsitektur terus berkembang sedemikian rupa, di satu sisi sistem SKS yang menjadi tolok ukur waktu dan pencapaian mahasiswa, sering kalah dengan kebiasaan Sang Dosen yang pernah mendapatkan pendidikan dengan gaya sistem tingkat. Sangat terkenal pada jaman itu bahwa sesungguhnya pendidikan arsitektur dijalankan dengan jumlah SKS lebih dari 200. Oleh karena itu pula militanisme mahasiswa mudah terbentuk (karena mesti begadang dan tidur di studio), dan di sisi lain harus menerima masa studi yang lama, antara 5 sampai 7 tahun adalah ukuran yang normal.

Periode ketiga, memasuki dekade tahun 1990-an, sistem SKS mulai menemui bentuk yang lebih matang. Jumlah SKS untuk tingkat sarjana berdasarkan peraturan pemerintah berada di kisaran 140-an. Pendidikan arsitektur juga harus menyesuaikan diri, untuk menghasilkan Sarjana Arsitektur. Orientasi pendidikan harus menghasilkan sarjana-sarjana yang memasuki dunia pasca-sarjana dengan ‘kesadaran arsitektur’ mereka. Sistem yang seperti ini menghadapi masalah besar, menyangkut harapan kemampuan lulusan memasuki dunia profesi yang harus sebagai sarjana arsitektur ‘siap pakai’.

Ada kesulitan menyesuaikan diri dengan jumlah SKS yang semakin kecil dengan target kemampuan lulusan yang diharapkan. Studio-studio perancangan dan konstruksi sulit dilaksanakan dengan baik akibat hitungan SKS yang ketat. Kebebasan untuk memberikan materi yang berorientasi praktek dan asistensi yang memadai berupa tatap muka face to face menjadi sangat berkurang. Sehingga dapat dipastikan bahwa produk lulusan ini tidak cakap terhadap detil dan metoda membangun. Kondisi ini diwarnai lagi dengan mulai dibanjirinya mahasiswa dengan literatur dari benua lain, sehingga kekampuan teknis mulai ditinggalkan untuk mengejar kemampuan konseptual, yang dibaca melalui literatur-literatur serta majalah yang mudah didapat. Di jurusan Arsitektur Universitas Bung Hatta, dekade tahun 1990-an adalah masa ketika banyak para staf pengajar yang baru pulang menempuh pendidikan master atau S2-nya. Sehingga keberagaman dalam orientasi pendidikan dan metoda pengajaran menambah semakin dinamisnya kondisi jurusan ini.

Gagasan tentang arsitektur yang dekat dengan dunia nyata mulai juga terkikis oleh semakin dituntutnya kemampuan komputer mahasiswa. Era ini kerap disebut sebagai jaman keemasan Digital Arsitektur. Cara pandang ber-arsitektur-pun menemukan bentuknya yang baru pula. Setidaknya ditandai dengan semakin meningkatkan hasil akhir disain arsitektur melalui software tiga dimensi, ketimbang pengetahuan detil dan sambungan konstruksi. Dapat dibayangkan bagaimana jadinya generasi ini, jika setelah lulus harus segera masuk ke dunia praktek yang lebih pragmatis dan stigma siap pakai.

Periode keempat, memasuki awal abad ke-21 yaitu tahun 2000-an, pendidikan arsitektur tidak semakin mudah dibaca persoalannya. Beberapa kecenderungan dan pemikiran baru terus berkembang. Diantaranya adalah pemberlakuan sertifikat tenaga ahli sebagai konsekuensi Undang-undang Jasa Konstruksi (UUJK), berlakunya Standar Kompetensi Arsitektur berdasarkan IAI (Ikatan Arsitek Indonesia) dan UIA (United International of Architect’s), serta kesepakatan pemberlakuan Pendidikan Profesi Arsitek (PPArs).

Penyelenggara pendidikan tinggi arsitektur harus kembali menyesuaikan diri dengan berbagai ketentuan eksternal tersebut. Pada dekade ini berlaku pula ketentuan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), sistem manajemen pendidikan yang semakin ketat seperti Akreditasi Program Studi dan pelaporan berupa EPSBED (Evaluasi Program Studi Berdasarkan Evaluasi Diri), serta sistem penilaian kompetitif lain melalui sistem Program Hibah Kompetensi (PHK) Pendidikan, serta sertifikasi dosen.

Pada Jurusan Arsitektur Universitas Bung Hatta, hampir semua program tersebut di akomodasi dalam perubahan kurikulum dan akreditasi tahun 2003, akreditasi tahun 2008, serta di aktualisasi kembali pada persiapan akreditasi 2013. Untuk pendidikan profesional arsitek juga sudah diakomodasi bersamaan dengan pembukaan Program Magister atau S2 yang telah dimulai sejak tahun 2009. Dengan kata lain, dekade tahun 2010-an ini merupakan tahapan pematangan sekaligus berusaha memposisikan diri dari konstelasi penyelenggara pendidikan arsitektur dan keunggulan regional.

Dengan kondisi tersebut, dapat diartikan bahwa penyelenggaraan pendidikan tinggi pada umumnya dan pendidikan arsitektur pada khususnya sudah harus mengikuti standar (nasional dan internasional) sebagai sebuah konsekuensi ratifikasi peraturan dalam skala regional dan internasional. Sedangkan di sisi lain usaha keluar dari keterbatasan sumberdaya dan fasilitas harus terus diupayakan. Dengan jumlah mahasiswa berkisar 300 orang, jurusan arsitektur ini relatif stabil di antara pasang surut jumlah mahasiswa PTS, didukung oleh 13 orang staf pengajar tetap dengan kualifikasi doktor sebanyak 3 orang, calon doktor 4 orang dan sisanya berpendidikan magister.


4. Beberapa Gagasan dan Pekerjaan Rumah.

Perjalanan yang relatif panjang ini (ingat organisasi profesi arsitektur di Indonesia baru mulai didirikan sejak tahun 1959, atau berusia lebih kurang 60 tahun) bagi pendidikan arsitektur di Universitas Bung Hatta yang sudah mulai dirintis sejak tahun 1965. Masih banyak gagasan dan pekerjaan rumah yang mesti dijawab, antara lain:

· Bagaimana mematangkan penyelenggaraan pendidikan dalam rangka mempersiapkan lulusan dalam era Arsitek Bersertifikat, serta akan diberlakukan Undang-Undang Arsitek dalam waktu dekat.

· Dan bagaimana segala instrumen keprofesian dan substansi keilmuan tersebut dapat diakomodasi dalam proses pendidikan.

· Kebutuhan akan pendidikan berjati diri atau pendidikan berkarakter menjadi hal yang perlu selalu dikembangkan, dalam hal ini adalah bagaimana pendidikan Arsitektur di Universitas Bung Hatta dapat mengejewantahkan spirit Hatta dalam setiap denyut nafas pendidikan dan Alumninya.

· Seperti kelompok alumni yang lain, sudah seharusnya ada Holding Company Alumni Arsitek Bung Hatta, apakah nanti berupa jasa konsultasi atau pengembang serta kontraktor atau bidang jasa lainnya, yang tidak saja berguna sebagai ranah mengabdi tetapi juga wadah untuk bersilaturahmi.

· Saat ini Universitas Bung Hatta sudah memasuki tahun ke-30, sudah perlu pula dicanangkan pembangunan tahap ke-2 tiga puluh tahun kedepan dengan New Spirit dan New Campus.

5. Benci Tapi Rindu

Hubungan antara almamater dan alumninya, seringkali bak lagu lama yang sangat terkenal: Benci Tapi Rindu. Banyak kritik yang dilontarkan, baik secara halus maupun secara terang-terangan, kadang terasa sangat kasar. Diantaranya: bahwa sekarang tidak seperti dulu, hilangnya masa kejayaan, pertanyaannya adalah: Kapan jayanya atau apakah pernah jaya?. Ada kecerobohan dalam menilai dan menakar kondisi sekarang dengan nilai-nilai yang ada di masa yang lalu.

Jika berhubungan dengan alumni yang lebih muda, keluhan yang selalu terdengar adalah bahwa anak muda sekarang tidak siap pakai, atau tidak bisa menggambar. Tidak survive atau cenderung manja-manja. Namun generasi yang lebih tua, selalu akan kagum dengan kemampuan komputer dari anak muda ini, dan kemampuan untuk menegaskan konsep-konsep yang terkandung dalam hasil goresan, animasi dan klick mouse-nya, berupa gambar yang penuh warna warni. Meski dihati si arsitek yunior: mampus lu, gue kan cuma copy paste.

Selalu ada gap antar generasi. Bahwa setiap generasasi selalu akan matang karena tantangan jamannya. Menyamakan masa kini dengan masa lalu yang penuh dengan keterbatasan, juga bukan cara pikir yang bijak

Kembali ke judul tulisan ini, Arsitek: Dari Tukang Tuo ke Arsitek Bangku Kuliah, bahwa daerah ini merupakan salah satu kantong budaya yang terpandang dan terdepan di republik ini. Tradisi membangun telah berkembang menjadi perkampungan dan arsitektur Minangkabau, mestinya menjadi ancangan yang baik dan modal besar bagi berkembangnya pembangunan wilayah perdesaan dan perkotaan saat sekarang ini. Dan seharusnya semakin baik pendidikan dan profesi arsitektur, maka semakin baik pula lingkungan kita. Seperti juga di masa lalu para Tukang Tuo menjadi panutan dalam membangun ‘rumah gadang’ dan lingkungannya

Banyak maaf, saya telah menunaikan tugas saya, menguraikan komentar dan buah pikir melalui tuisan ini, akan lebih baik jika kalaupun ada caci maki atas tulisan ini, silahkan pula ditulis, sehingga dapat tercatat dalam sejarah. Selamat Bernostalgia.

Eko Alvares Z, lahir di Padangpanjang 10 Maret 1965, arsitek madya bersertifikat IAI No: 2765, sejak 1991 staf pengajar Sarjana dan Pascasarjana Jurusan Arsitektur Universitas Bung Hatta, Padang.