Eko Alvares Z

Sabtu, 27 Oktober 2012

Peta Kota Padang Lama tahun 1915

Peta di atas adalah salah satu peta lama Kota Padang yang dibuat dengan skala tertentu dan dengan tingkat akurasi yang cukup baik. Diperkirakan peta ini dibuat sekitar tahun 1915. Dari peta tersebut dapat dilihat pemanfaatan lahan kota pada saat itu. Kawasan tepi Sungai Batang Arau merupakan kawasan yang lebih padat, seperti kawasan Pasar Gadang, Kampung Cina, dan Hilligoo. Kawasan lain adalah jalan-jalan utama kota seperti yang sekarang disebut sebagai kawasan Pasar Raya (dulu Kampung Jawa), jalan Sudirman dan Veteran.

Transportasi Serba Guna

Apakah ini jawaban dari dibalik larisnya penjualan sepeda motor di Indonesia. Konon katanya tingkat pertumbuhan penjualan sepeda motor mencapai lebih dari 14% setiap tahun, sehingga tidak heran kalau jalur transportasi dipenuhi oleh moda transportasi yang satu ini. Atau dilain sisi, ini adalah gambaran belum benarnya sistem transportasi kita, mudahnya mendapatkan kredit motor, dan sangat mudahnya mendapatkan Surat Ijin Mengemudi.

Rabu, 21 Maret 2012

Komersialisasi Ruang Kota

Oleh: Eko Alvares Z

Semua kita mestinya tahu, bahwa kota bukan saja sebuah tempat bertemunya berbagai golongan orang dari segala penjuru, dan selanjutnya pertemuan itu menjadikan ruang-ruang kota sebagai wadah perkembangan peradaban. Dalam kondisi itu, kota menjadi pusat pendidikan ‚hidup-bersama’ masyarakat yang tinggal atau yang mengisi ruang-ruang kota itu. Jumlah penduduk kota yang dikatakan sebagai kepadatan kota, jenis aktivitas yang sangat beragam, serta mobilitas yang tinggi, menyebabkan kota sarat dengan beban dan kepentingan. Oleh karena itu, ruang-ruang kota setiap jengkalnya semakin menjadi mahal dan penuh dengan nilai jual. Dalam konteks ini pertanyaan yang muncul adalah sejauh mana ruang-ruang kota itu mampu dijadikan wadah pendidikan bagi berkembangnya peradaban kota yang mencerdaskan.

Dalam kaca mata dunia periklanan, ruang publik kota adalah media komunikasi antara pembeli dan penjual. Secara sederhana dalam kaca mata ini, ruang publik kota merupakan media untuk merayu pembeli dengan segala janji-janji yang belum tentu didapat pembeli. Semakin banyak yang melewati sebuah tempat atau ruas jalan maka semakin mahal nilai jualnya. Atau dapat diasumsikan berapa banyak pasang mata melihat atau menikmati ruang publik itu, maka semakin mahal nilai jual ruang visual potensial kota tersebut.

Disisi lain, kepadatan dan keberagaman aktivitas di daerah perkotaan juga menuntut penyeimbang dengan kehadiran ruang publik yang baik. Ruang-ruang publik kota tidak saja berhubungan secara fungsional sebagai ruang bersama tempat interaksi masyarakat kota, tetapi juga ruang yang berfungsi secara ekologis sebagai paru-paru kota, elemen estetis serta tempat pendidikan bersama masyarakat kota. Sebagai ruang tempat pendidikan masyarakat kota, maka ruang-ruang publik itu haruslah memenuhi persyaratan komunikasi dan substansi informasi yang berfungsi meningkatkan pengetahuan dan mencerdaskan masyarakat.

Belakangan, di berbagai kota dapat diamati ruang-ruang kota yang dipenuhi iklan, penanda dan simbol yang kurang cerdas. Produk komunikasi tersebut tidak saja mulai pada tahap yang menyesatkan, namun juga merebut ruang-ruang publik kota yang berfungsi sebagai penghijauan, mendominasi ruang bagi tanda-tanda lalu lintas dan informasi kota penting lainnya.
Pada tataran ini, persoalan ruang-ruang publik potensial visual kota telah jatuh kepada persoalan tampilan wajah kota, yang berhubungan dengan tertib-pembangunan ruang kota, dan pada akhirnya akan menunjukkan kualitas wajah kota tesebut. Jika hampir di setiap sudut kota dipenuhi oleh iklan rokok, produk-produk dan jasa komersial, serta rayuan untuk mengkonsumsi dan membeli sebanyak mungkin, maka ruang-ruang visual kota akan semakin sumpek dengan pesan-pesan yang hidup dialam bawah sadar warga kota.

Sibuk dengan Retorika, Minim Action: Menyoal Banjir di Kota Padang


Padang Ekspres • Jumat, 02/03/2012 14:02 WIB • (e/mg6) •

DRAINASE TERSUMBAT: Kompleks Kesehatan Gunungpangilun digenangi air saat hujan m
Sudah dua hari terakhir Padang diguyur hujan. Genangan air merata terjadi di mana-mana. Mulai dari jalan raya, permukiman warga hingga sentra-sentra ekonomi, tak luput direndam air. Meski begitu, belum tampak upaya serius semua pihak memitigasi ancaman banjir.

Pantauan Padang Ekspres, genangan air mencapai lutut orang dewasa di Jalan Rawang-Jalan Ratulangi, Jalan Jhoni Anwar, AR Hakim, Simpang Haru, Parakgadang, Gunungpangilun, Airtawar, Lubukbuaya dan Khatib Sulaiman.

Di kompleks perumahan di Jalan Garuda dan Murai, Airtawar, saluran drainase meluap karena tersumbat. Sampah dan rumput menyemak di saluran got.  Tak heran, sampah bertebaran di mana-mana karena air meluap.   

Rita, warga Airtawar, tidak menampik drainase di permukimannya jarang dibersihkan, apalagi rumah yang dihuni mahasiswa atau kos-kosan. “Kalau di rumah saya, setiap sebulan sekali drainase dibersihkan dari rumput dan sampah.

Saya membayar orang untuk membersihkannya,” kata ibu tiga anak ini, kepada Padang Ekspres, kemarin.
Drainase depan rumah Rita boleh saja bersih, tapi tidak begitu di rumah warga lainnya. Akibatnya, permukiman mereka tetap saja banjir setiap kali hujan deras.  

Dia menyesalkan saluran drainase di sekitar rumah kosan-kosan, yang sering tersumbat karena jarang dibersihkan. “Bahkan terkadang sampah makanan dibiarkan berserakan. Ketika hujan, masuk ke selokan dan menyumbatnya,” ujarnya.

Begitu pula di kompleks Perumahan Bunga Mas, Tunggulhitam, tak luput menjadi langganan banjir. Neneng, warga setempat, mengaku penghuni Bunga Mas sudah akrab dengan banjir. Sejak tinggal di kompleks itu pada tahun 2010, wanita asal Sijunjung ini mengaku tak terhitung lagi dianda banjir.

”Hujan selama tiga jam dipastikan sudah tergenang air di luar. Kalau lebih dari itu, air ini sudah masuk rumah, padahal warga kompleks ini selalu menjaga drainase di depan rumah masing-masing,” imbuhnya.

Permasalahan drainase juga diungkapkan oleh warga RW III Lubuk Buaya, Syamsudin. Pria yang bekerja sebagai marketing perusahaan elektronik ini, mengaku warga sekitar rumahnya telah membersihkan drainase, tapi tetap saja meluap.

Meski rumahnya belum dimasuki air, tapi jalanan di sekitar rumahnya sudah terendam setinggi 30 centimeter. “Warga di sini sudah terbiasa. Sudah paham kalau hujan lebat mengguyur sampai dua atau tiga jam menyebabkan banjir,” katanya.

Mereka tidak tahu harus berbuat apa lagi untuk mengantisipasi banjir. Meski drainase telah diberishkan, saluran drainase tetap saja meluap.
Pengamat tata ruang dari Universitas Bung Hatta (UBH), Eko Alvares menjelaskan, melihat permasalahan banjir di Padang dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, masyarakat tidak peduli dengan lingkungan sehingga saluran air tersumbat, selain karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang daerah resapan air. Setiap bangunan (rumah), harus memiliki 30 persen daerah resapan.

“Dapat kita lihat, saat ini bangunan seperti rumah atau rumah toko sudah di semen seluruhnya. Jadi tidak ada resapan air. Kalau sudah begitu, air akan menumpuk pada satu saluran. Ditambah lagi salurannya tersumbat karena jarang dibersihkan, tentu banjir akhirnya,” imbuhnya.

Eko menilai, seharusnya Pemko Padang ketat mengawasi jalannya pembangunan. Selain itu, diperlukan juga ruang taman hijau untuk penyerapan air dalam skala besar. “Tentunya perawatan drainase umum harus menjadi perhatian juga,” katanya.

Permasalahan kedua, faktor alam yaitu topografi Padang dekat dari laut dan aliran sungainya bermuara di laut. “Topografi Padang memang rawan banjir. Buktinya, sejak zaman dulu (Belanda) telah dibuatkan saluran air utama seperti banda bakali untuk mengatasi permasalahan banjir, tapi saat ini masyarakat tidak mendukungnya,” tutur Eko.

Kepala Bidang Pendayagunaan Sumber Daya Air (PSDA) Dinas Pekerjaan Umum Herman H mengatakan, pantauannya di lokasi membenarkan kondisi drainase tidak layak. Itu diperparah kurangnya kesadaran masyarakat menjaga lingkungan dan membuang sampah sembarangan.
“Sebagai solusi, pihaknya akan membongkar drainase tertutup coran. Kemudian drainase yang rendah akan dinaikkan sehingga air dapat mengalir lancar,” tutur Herman.

Misalnya, sebut Herman, drainase di sepanjang Jalan Jhoni Anwar dan Ratulangi. “Di dua lokasi itu, tersumbatnya drainase disebabkan tembok bangunan ruko warga di pinggir jalan tersebut. Jadi kita akan angkat sehingga tidak tersumbat lagi,” kata Herman seraya berharap warga menjaga kebersihan lingkungan.

Penanganan bencana di Padang terkesan reaktif. Semua baru ribut ketika bencana datang. Setelah “badai berlalu”, baik pemerintah maupun masyarakat kembali lupa seolah tak pernah ada kejadian.  

Rusaknya drainase, hancur daerah aliran sungai (DAS), minimnya taman kota dan danau buatan (situ) sebagai daerah resapan air, rusaknya daerah tangkapan air (catchment area), larangan membangun rumah di bantaran sungai, kencangnya laju lahan pertanian menjadi permukiman, adalah daftar penyebab banjir yang tak kunjung dituntaskan.
Hanya menjadi perdebatan publik setiap kali banjir tiba, tapi nihil implementasi. Alasannya, bisa ditebak, lagi-lagi minim anggaran. Menyelesaikan banjir, tak cukup dengan retorika.  (e/mg6)

Selasa, 20 Maret 2012

UBH Siapkan Menuju e-University

Minggu, 17 Juli 2011 , 07:20:00
PADANG- Universitas Bung Hatta (UBH) menggelar workshop pengembangan sistem informasi manajemen diikuti seluruh  Dekan di lingkungan UBH, beberapa waktu lalu. Workshop itu digelar untuk untuk mendorong peningkatan optimalisasi kinerja lembaga. Wakil Rektor I UBH Bidang Akademik Dr Eko Alvarez MSAA mengatakan, di lingkungan perguruan tinggi, pemanfaatan Teknologi, Informasi dan Komunikasi (TIK) dapat diwujudkan dalam suatu sistem yang disebut dengan sistem informasi akademik (SIA) berguna untuk mencapai e-University.

Dikatakan, pengembangan e-University bertujuan untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan, sehingga perguruan tinggi dapat menyediakan layanan informasi yang lebih baik kepada komunitasnya, baik di dalam maupun di luar perguruan tinggi tersebut melalui internet.

"Pesatnya perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), memungkinkan layanan pendidikan yang bisa dilaksanakan melalui sarana internet dengan menyediakan materi kuliah secara online dan materi kuliah yang dapat diakses oleh siapa saja yang membutuhkan," ujar Eko.

Ia menambahkan, sistem informasi berbasis web yang diterapkan di UBH bekerja sama dengan Djamboe WebDesign bertujuan untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan, sehingga perguruan tinggi dapat menyediakan layanan informasi yang lebih baik dan efektif kepada komunitasnya, baik di dalam maupun di luar perguruan tinggi tersebut melalui internet.

Eko juga mencontohkan, dalam pengisian Kartu Rencana Studi (KRS), mahasiswa dapat melakukan pengisian KRS dari mana dan kapan saja. Mahasiswa juga tidak perlu lagi antre meminta blanko dan menuliskan mata kuliah yang akan diajukan, namun tinggal menandai (checklist) mata kuliah yang akan diajukan. Berbagai fitur-fitur utama yang tercantum di website UBH terus dikembangkan dan di update sesuai kebutuhan dan semuanya berbasiskan online seperti kurikulum perkuliahan

Musyawarah Nasional XIII Ikatan Arsitek Indonesia

Musyawarah Nasional Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) adalah forum permusyawaratan tertinggi organisasi di tingkat nasional. Diselenggarakan antara lain untuk menetapkan garis kebijakan organisasi sebagai kebijakan program organisasi IAI secara nasional dan menetapkan keputusan-keputusan penting lain berkaitan dengan asaz, tujuan dan fungsi organisasi.

Acara berlangsung di Balikpapan, Kalimantan Timur pada tanggal 24-27 November 2011. Dalam kegiatan yang diselenggarakan setiap 3 (tiga) tahun ini, dilaksanakan juga pemilihan ketua umum baru selaku formatur pengurus nasional.

Musyawarah Nasional dihadiri tidak hanya oleh pengurus IAI daerah dan cabang, namun juga anggota IAI dari seluruh Indonesia yang peduli akan kelangsungan organisasi.

Sebagai puncak permusyawaratan dalam satu periode kepengurusan, dalam kesempatan ini anggota tidak hanya menyalurkan aspirasinya dalam organisasi, tapi juga urun rembuk mengenai perkembangan profesi arsitek. Untuk itu acara Musyawarah Nasional dirangkaikan dengan sejumlah acara lainnya antara lain Forum Arsitek dan Sarasehan Arsitek.

Seiring dengan penyelenggaraan Musyawarah Nasional ini, diberikan juga penghargaan atas karya arsitektur dari anggota Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) di seluruh Indonesia serta arsitek, tokoh atau instasi yang berjasa bagi arsitektur Indonesia.

Musyawarah Nasional XIII Ikatan Arsitek Indonesia tahun 2011 diselenggarakan di Balikpapan Kalimantan Timur sesuai dengan amanah Munas 2008, erat kaitannya dengan Balikpapan sebagai cermin wajah kota di Indonesia yang tumbuh dengan berbagai permasalahannya. Kota ini tumbuh memanfaatkan hinterland-nya tidak punya SDA, merupakan kota imigran, sangat ideal bagi arsitek untuk memperluas kawasan, mengamati, mempelajari kontradiksi dalam pengelolaan lingkungan, pergolakan dalam mempertahankan seni budaya dan ragam hias etnis asli Kalimantan.

Rangkaian agenda organisasi dilakasanakan antara lain Rapat Kerja Nasional, yang membahas laporan kegiatan IAI Daerah/Cabang/Perwakilan, laporan Dewan Kehormatan IAI, laporan kelompok kerja AD/ART, Laporan DKA IAI, yang dilanjutkan dengan pemilihan Calon Dewan Kehormatan Nasional IAI dan pencalonan serta kampanye Calon Ketua Umum IAI. Diselenggarakan pula pameran karya-karya nominasi penghargaa IAI dan karya anggota IAI Kaltim dan Balikpapan di Balikpapan City Mall.

Acara munas juga dimeriahkan dengan pemaparan Buku 50 Tahun IAI, pembahasan issue-isue penting dan program-program untuk kepengurusan ke depan, serta pemaparan calon Tuan Rumah IAI XIV tahun 2014.

Masih rangkaian kegiatan Munas IAI XII, jauh sebelum pelaksanaan Munas telah dilaksanakan Kuliah Umum IAI di Auditorium Apung Perpustakan Pusat Universitas Indonesia, Depok dan Openhouse Bersepeda: 10 Arsitek 10 proyek.

Munas IAI dibuka oleh Wakil Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia Dr. Ir. A Hermanto Dardak, Wakil Gubernur Kalimantan Timur Drs. H. Farid Wadjdy serta Walikota Balikpapan H.M. Rizal Effendi, SE. Tamu-tamu disambut dengan penerima tamu dengan pakaian khas Dayak, dan dihibur pula denfan musik dan tari Suku Dayak, Kalimantan.

Sebagai acara lanjutan adalah Forum Arsitek yang terbagi menjadi dua sesi, sesi pertama dengan topic pembahasan "Menuju Undang-undang Arsitek" yang dibawakan olek Sandi Siregar, IAI dengan panelis Ahmad Djuhara,IAI dan Panji Prasetyo dipandu oleh moderator Agung Dwiyanto.

Sementara sesi kedua dengan topik pembahasan “Kearifan Lokal dalam Arsitektur menghadapi Tantangan Global "oleh Popo Danes, IAI, dengan panelis, Firminus Kunum, Eko Alvarez, Priyo Suwarno.

Forum ditutuo dengan jamuan makan malam di Rumah Jabatan Walikota Balikpapan yang sekaligus merupakan Sarasehan Arsitek oleh Eko Budiharjo IAI dan sharing tentang UIA, Arcasia, Asia MRA oleh Endi Subijono, IAI.

Acara puncak Sidang Musyawarah Nasional, mengagendakan pemilihan Ketua Umum, diawali dengan presentasi para kandidat yaitu Bambang Eryudhawan, IAI dan Munichy B. Edrees, IAI. Namun, mengingat belum tercapainya pemilihan ketua umum, musyawarah akan dilanjutkan dalam musyawarah nasional luar biasa (munaslub).

Sediakan Tempat untuk PKL

Padang Ekspres • Minggu, 11/03/2012 12:17 WIB • (hijrah) •

suasana di Pasar Raya pada sore hari. Lebih dari separuh badan jalan dikuasai ol

Aparat penegak Perda di kota ini terlihat tidak bisa tuntas mengatasi permasalahan ini. Setelah ditertibkan, tidak lama kemudian, maka pedagang akan bermunculan kembali. Ditertibkan lagi, muncul lagi. Begitu seterusnya. Ketika memberantas pekat, seperti PSK, waria, dan tempat-tempat mesum juga kan kembali lagi setelah ditertibkan.


Kasatpol PP Kota Padang, Yadrison mengakui dalam melakukan penertiban, mereka terjebak dalam dilema. Katanya, selama ini memang banyak pedagang kaki lima yang setelah ditertibkan kembali berjualan.


Katanya, di satu sisi mereka harus menegakkan aturan, namun menurutnya dengan keadaan kota yang masih belum pulih pasca gempa, maka penertiban belum akan bisa dilakukan dengan maksimal. Pasalnya, kondisi pasar yang belum selesai dibangun, masyarakat yang masih membangun perekonomian disinyalir menjadi masalah.


Namun, dia menegaskan, selain hal yang disebutkan di atas, permasalahan utama yang terjadi adalah kurangnya kesadaran masyarakat. “Memang, seharusnya setelah PKL kita tetibkan, harus ada jalan keluar yang kita berikan.

Misalnya, penampungan atau tempat berjualan yang khusus untuk mereka. Namun, mungkin karena pasar yang belum selesai, maka kita belum bisa memaksakan hal itu.

Tapi, kalau semuanya memiliki kesadaran arti pentingnya ketertiban kota ini, tidak akan separah ini keadaannya. Karena ini adalah masalah kehidupan masyarakat banyak,” paparnya.


Terkait dengan permasalahan PKL yang terus menjamur di kawasan Pasarraya, menurutnya adalah tanggungjawab dari Dinas Pasar untuk menertibkannya. Jika kemudian Dinas Pasar meminta bantuan pada Pol PP, menurutnya Pol PP baru akan turun.


Lain halnya dengan pedagang yang berjualan di sepanjang jalan, kata Yadrison ada beberapa hal yang kadang menghambat mereka untuk menindaklanjuti. Misalnya, adanya pihak lain yang memungut retribusi dari pedagang-pedagang itu.


Sedangkan, ketika ditanya mengenai banyaknya orang “baralek” yang memakai badan jalan, menurutnya hal itu masih bisa ditolerir karena tuan rumahnya sudah mengurus izin pada pihak-pihak terkait.


Menanggapi hal itu, pengamat tata ruang dari Universitas Bung Hatta menilai, Eko Alvarez, hal ini hanya disebabkan karena belum adanya kemauan dari pemerintah untuk menyediakan tempat khusus bagi pedagang kaki lima. Hal ini, menyebabkan ketika sedikit saja ada tempat luang, akan dipakai untuk mendirikan lapak-lapak, yang perlahan-lahan berubah menjadi bangunan liar.


Ini diperparah masih kurangnya kesadaran masyarakat untuk hidup diperkotaan. “Sedikit saja ada kesempatan, mereka akan memanfaatkan dengan dalih bahwa mereka adalah pribumi, walau itu melanggar aturan,” papar Eko.


Menurut Eko, pemerintah harus mengakomodir PKL dan menyediakan tempat yang layak untuk mereka, dan tempat itu juga dilalui dan dikunjungi banyak orang. “Kalau tempat parkir diatur, tempat PKL juga harus disediakan. Kalau tidak ada tempat untuk mereka, maka persoalan PKL tidak akan pernah bisa teratasi,” tegasnya.


Sebelumnya, pengamat kebijakan publik dari Unand, Damsar mengatakan, PKL tidak harus disingkirkan dengan alasan penataan pasar. Karena pasar ini bisa juga tertata tanpa harus menyingkirkan pedagang kecil seperti PKL ini.


“PKL bukan untuk di singkirkan, namun mereka perlu dilindungi. Apalagi kita adalah masyarakat minang yang kebudayaannya tidak lepas dari keberadaan PKL. Namun yang perlu dilakukan adalah penataan bagi PKL, karena jika PKL ini sudah ditata tidak akan muncul lagi permasalahan,” jelasnya.


Jika PKL dilindungi, Kota Padang akan bisa menjadi percontohan untuk keberadaan PKL. Penataan yang bisa dilakukan untuk menertibkan PKL ini adalah dengan pengaturan mereka. Baik dari segi jenis barang dagangan dan juga pengaturan jarak PKL. (hijrah)

Diskusi Perencanaan Rekonstruksi Paska Bencana di Japan Foundation Jakarta

Jakarta-Indonesia) Pusat Kebudayan Japan Foundation (JF) Jakarta, Kamis (02/02) menyelenggarakan diskusi bertemakan "komunitas perencanaan dan desain rekonstruksi paska bencana perkotaan, berdasarkan pengalaman Indonesia dan Jepang".



Acara diskusi mengundang Profesor Onoda Yasuaki dari Universitas Tohoku sebagai pembicara, yang juga merupakan salah satu pendiri ArchiAid (Relief and Recovery by Architects for Tohoku Earthquake and Tsunami), dan dihadiri sekitar 30 orang peserta yang meliputi peneliti, anggota (Lembaga Swadaya Masyarakat), arsitek, dan jurnalis.


Menurut Onoda, paska terjadinya bencana gempa bumi dan tsunami 11 Maret silam, banyak arsitek yang menawarkan proposal rekonstruksi di area bencana. Namun, saat itu Jepang hanya memiliki 10 badan administatif yang menangani hal tersebut, sehingga proposal tidak tertangani dengan baik. Melihat kebutuhan mendesak tersebut, maka dibentuklah ArchiAid, wadah independen yang dapat menampung proposal rekonstruksi .


Di Indonesia, juga terdapat orang-orang yang mendukung rekonstruksi di daerah bencana gempa bumi di Pulau Sumatera, dan Aceh, seperti Wakil Rektor I Universitas Bung Hatta Dr. Eko Alvarez, dan Koordinator Program Komunitas Arsitek Yogyakarta Yuli Kusworo.


Selama diskusi, dibahas berbagai macam desain rekonstruksi bangunan moderen, kegiatan sukarela bagi korban bencana, serta dukungan administrasi, dan peran arsitek dalam rekonstruksi.


"Pemerintah Jepang mempersiapkan segalanya untuk rekonstruksi, namun karena tidak mau memberatkan banyak pihak, sehingga kegiatan rekonstruksi menjadi terhambat. Berbeda dengan Indonesia, tanpa dorongan pemerintah, seluruh lapisan masyarakat saling bahu membahu menjalankan rekonstruksi. Inilah perbedaan yang jelas terlihat antara rekonstruksi di Jepang dan Indonesia", ujar Onoda.


Lebih lanjut Onoda memaparkan, "Sebelum melakukan kegiatan di daerah yang terkena bencana, terlebih dahulu meninjau pendapat setiap orang. Bukan hanya mendengar pendapat masyarakat, namun juga borkonsultasi dengan pendapat ahli sesuai dengan bidangnya masing-masing."


Sementara itu, baik di Jepang maupun Indonesia, untuk memenuhi permintaan penduduk di wilayah bencana, dibangun "rumah sederhana" yang meliputi ruang tidur, ruang makan.


Selain itu Onoda mengingatkan, "Rencana pembangunan di Jepang, tidak hanya sekedar mendirikan rumah penampungan. Dalam proposal rancangan model rumah tempat tinggal, harus ada nilai tambah yang dapat meningkatkan ekonomi, dan pariwisata setempat, serta membuat perasaan warga nyaman untuk menghuni di daerah tersebut."


"Meskipun baru berkecimpung dalam bidang ini, namun saya ingin menunjukkan situasi yang tentram dalam proposal saya", tutup Onoda. (IM/JS)

Bukittinggi Perlu Lakukan Perubahan

Bukittinggi, Padek—Pemerintah Kota Bukittinggi jangan sampai terlena dengan kebanggaan yang dimilikinya selama ini, karena itu hanya akan menjadi kebanggaan semu jika tidak diimbangi perubahan secara terus-menerus ke arah lebih baik.

Apalagi sebagai destinasi wisata di Sumbar, kota Bukittinggi belum memberikan kenyamanan bagi pengunjung. Ini terlihat masih belum lepasnya kota ini dari persoalan pelik seperti kemacetan dan kesemrawutan.


Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia Andrinof Chaniago mengatakan, penataan Bukittinggi ke depan tidak hanya pada pembangunan fisik, dan tata ruang semata. Namun, hal penting lainnya yang perlu menjadi perhatian adalah perlunya perubahan kelembagaan, cara berpikir, perilaku dan penataan mental secara struktural untuk membentuk perilaku warga.


”Menanamkan sikap mental yang baik agar pengunjung tidak kapok (berkunjung) dan semua peluang bisa dimanfaatkan dengan baik,” ujar Andrinof Chaniago saat menjadi pembicara pada seminar “Merancang Bukittinggi Masa Depan” yang diselenggarakan Bukittinggi Forum di The Hills Hotel Bukittinggi, kemarin (27/6).


Pada kesempatan yang dihadiri Sekko Bukittinggi Yuen Karnova itu, Andrinof juga mengungkapkan saat ini banyak keputusan dan kebijakan strategis pemerintahan daerah, lebih didasarkan pada keinginan subjektif para pejabat dan orang-orang yang punya pengaruh kuat terhadap pemegang kekuasaan.


Akibatnya, banyak kesempatan meraih manfaat yang lebih besar menjadi hilang. Dia mencontohkan pemilihan sebutan Kota Bukittinggi sebagai Kota Dahlia yang menurutnya, justru mengecilkan nilai yang lebih besar dari kota ini. “Patut disayangkan kalau keutamaan Kota Bukittinggi jadi diwakili sebuah spesies tanaman,” tambah Andrinof yang juga Dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia, itu.


Seharusnya, kata Andrinof, setiap kebijakan dan keputusan strategis selalu menggunakan perencanaan berbasis ilmu pengetahuan.
Sementara itu, Pakar Tata Ruang dari Universitas Bung Hatta Padang, Eko Alvares Z mengingatkan Pemko tidak menjadikan pusat kota sebagai ”gudang kaki lima” karena hal itu menjadi magnet kesemrawutan Bukittinggi.

Dia mencontohkan buruknya penataan pedagang kaki lima di sekitar pasar. “Pedagang sekaligus menjadikan pasar sebagai gudang penyimpanan barang-barangnya, sehingga membuat Bukittinggi menjadi semakin semrawut,” bebernya.


Di sisi lain, Eko Alvarez menyebutkan, Bukittinggi sebetulnya punya sejumlah titik historis yang memiliki nilai jual wisata. Bahkan, bisa dikembangkan dengan menyediakan pedestrian city secara maksimal.

“Pengunjung bisa melakukan kunjungan dengan berjalan kaki menuju tempat-tempat yang memiliki nilai historis tinggi tersebut,” jelas Eko. Namun dia sangat menyayangkan hal itu belum ditata dengan baik. (rul)

Jam Gadang dan Patung Hermes

Jam Gadang Bukit Tinggi Kini Tanpa Patung Hermes dan Harimau

http://www.pelaminanminang.com, 20 Maret 2012

London boleh bangga punya Big Ben, tapi Bukitinggi boleh lebih berbangga, tak hanya punya Jam Gadang (Jam Besar), tapi juga pemandangan alam yang tak terbandingkan. Tengok saja Ngarai Sianok, dengan Goa/Lubang Jepang-nya. Belum lagi sederet gunung yang melingkari kota ini.

Sebagai tengara kota, Jam Gadang setinggi 26 meter ini dibikin oleh putera Bukittinggi, Yazid Sutan Gigiameh. Dari paparan tim Rehabilitasi Jam Gadang, disebutkan, Jam Gadang dibangun oleh opzichter (arsitek) bernama Yazid Abidin (Angku Acik) yang berasal dari Koto Gadang, Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam.

Jam yang merupakan hadiah Ratu Belanda kepada Controleur Oud Agam (sekretaris kota), HR Rookmaker, ini dibangun di “bukit tertinggi” (Bukik Nan Tatinggi) dan menghadap ke arah Gunung Merapi. Jam Besar ini didatangkan dari Rotterdam, Belanda, melalui Teluk Bayur (1926). Mesin Jam Gadang hanya ada dua di dunia, satu lagi tak lain adalah Big Ben.

Pada paparan tim, disebutkan pula, bangunan tersebut dibuat tanpa menggunakan besi peyangga dan adukan semen. Campurannya hanya kapur, putih telur, dan pasir putih. Ruangan bawah Jam Gadang pernah dimanfaatkan sebagai loket karcis terminal, pos polisi, dan gudang pada 1970.

Bentuk klokkentoren, menara jam, demikian Jam Gadang disebut dalam literatur Belanda, berbentuk empat persegi dengan jam di masing-masing sisi puncak. Sebetulnya, di zaman Belanda, toren alias menara itu dibangun untuk mengintai gerak-gerik pengikut Imam Bonjol semasa Perang Paderi.

Puncak Jam Gadang mengalami tiga kali perubahan. Semula puncak Jam Gadang dibuat setengah lingkaran seperti kubah masjid. Di atasnya dipasang patung ayam jago, menghadap arah timur, yang sedang berkokok. Sengaja dibikin demikian untuk menyindir masyarakat Agam Tuo yang kesiangan, demikian ditulis Zulqayyim dalam buku “Kota Lama Kota Baru: Sejarah Kota-kota di Indonesia”.

Di zaman Jepang, puncak Jam Gadang berubah lagi. Sesuai selera Jepang. Maka Jam Gadang di zaman Jepang berbentuk atap bertingkat menyerupai Pagoda. Di masa kemerdekaan, atap itu diganti dengan gonjong rumah adat seperti rumah adat Minangkabau.

Di masa awal, di sisi kanan dari taman Jam Gadang ini (berhadapan dengan Jam Gadang sisi depan) terdapat Patung Hermes di atas semacam tiang/tonggak dan juga patung harimau. Namun sudah tak terlacak lagi ke mana kedua patung itu dan kapan mereka hilang.

Dalam pertemuan antara Wakil Rektor Universitas Bung Hatta, Padang, Eko Alvarez, dengan rombongan dari Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) yaitu dewan pimpinannya, Pia Alisjahbana dan Han Awal, serta Direktur Eksekutif BPPI, Catrini Kubontubuh; serta arkeolog Hardini Sukmono, persoalan Hermes juga mengemuka.

Bahkan kemudian dalam acara Sosialisasi Rehabilitasi Jam Gadang di Bukittinggi beberapa waktu lalu, masalah keberadaan kedua patung itu juga diangkat. Namun tentu saja jawabannya tak bisa langsung didapat. Salah satu tetua adat menyatakan, harimau adalah perlambang Agam.

Angka empat pada Jam Gadang yang menggunakan sistem Romawi, juga sering disinggung dengan urusan mistik. Angka empat pada sistem penomoran Romawi harusnya ditulis IV namun pada Jam Gadang, angka empat ditulis IIII. Beberapa sumber menyebutkan, penomoran itu dimungkinkan karena si pembuat tak terlalu paham dengan sistem angka Romawi atau memang sengaja dibikin demikian agar tak membingungkan jika angka-angka itu menghadap ke luar, bukan menghadap ke arah jam (arah dalam). Di luar urusan angka jam, kesahalan tulis seperti itu sering terjadi di belahan dunia manapun, seperti angka 9 yang ditulis VIIII (harusnya IX) atau angka 28 yang ditulis XXIIX (seharusnya XXVIII).

Jam ini masih tetap beroperasi. Dentingnya masih bisa didengar setiap jam. Bahkan kini, dari puncaknya juga akan selalu terdengar suara pengawas mengingatkan warga agar tak membuang sampah sembarangan. Di masa puasa, denting jam ini juga berfungsi sebagai penanda imsak dan berbuka puasa.

Memang, tempat sampah mudah sekali ditemukan di taman sekitar Jam Gadang. Alhasil, taman ini terlihat bersih. Dan tak ada bau pesing di sana. Pasalnya, taman mungil ini juga dilengkapi dengan WC umum. Kini WC umum itu sedang direnovasi.

Saat pertama Jam Gadang dibangun, 1926, lingkungan sekitar tak ketinggalan ikut dihidupkan. Ada terminal bus, bangunan kantor Asisten Residen Afdeeling Padangsche Bovenlanden – kini jadi kompleks Istana Negara Bung Hatta. Di sisi barat, pom bensin, kantor polisi, dan kantor Controleur Oud Agam. Tempat perhentian bendi atau dokar pun disiapkan. Kemudian tak jauh dari perhentian bendi terdapat Loih Galuang serta beberapa loods (los), orang Minangkabau menyebut loih, lain.

Loih Galuang (Los Melengkung) dibangun pada 1890. Los lain juga dibangun untuk pedagang kelontong, kain, juga daging dan ikan. Penataan pasar dilakukan di awal abad 20 oleh Sekretaris Kota Agam Tuo (Controleur Oud Agam) LC Westenenk.

Bukittinggi, kota kelahiran Proklamator RI, Bung Hatta, di masa Jepang, menjadi pusat pengendalian militer untuk kawasan Sumatera. Nama Stadsgemeente Fort de Kock diubah menjadi Bukittinggi Si Yaku Sho. Di masa perjuangan kemerdekaan, kota ini ditunjuk sebagai Ibu Kota Pemerintahan Darurat RI setelah Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda pada 1948-1949. Kota ini juga pernah ditetapkan sebagai ibu kota provinsi Sumatera dan Sumatera Tengah.

IAI Award 2011

Inilah 8 Karya Terbaik "Arsitektur yang Berbagi"
M.Latief | Latief | Selasa, 10 Januari 2012 | 14:43 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Berdasarkan pemahaman umum mengenai arsitek dan peran profesinya, hakikat berarsitektur adalah memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat dan lingkungannya. Berangkat dari kesepakatan itulah dapat dimengerti, bahwa melalui praktik profesinya arsitek mempunyai kesempatan sekaligus tanggung jawab untuk menggunakan dan membagikan keahliannya kepada masyarakat luas.

Berbagi kepada sesama manusia adalah cermin buah pikir arsitek dalam memberikan solusi. Berbagi kepada lingkungan merupakan etika utama arsitek dalam menjaga dan bertanggungjawab kepada kehidupan secara luas.

Demikian itulah benang merah yang bisa ditangkap dari hasil digelarnya Ikatan Arsitektur Indonesia (IAI) Awards 2011 bertema "Arsitektur yang Berbagi". Dilaksanakan seiring Musyawarah Nasional (Munas) Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) ke XIII pada November 2011 lalu, IAI Awards 2011 mencari dan menetapkan karya-karya arsitek Indonesia yang dianggap terbaik dalam konsep berbagi untuk sesama dan berbagi kepada bumi.

Tahun ini, IAI Awards 2011 tidak hanya diberikan bagi karya-karya bangunan arsitektur, namun juga karya kawasan dan karya tulis arsitekur. Untuk kategori karya desain arsitektur, baik bangunan maupun kawasan, pesertanya terdiri dari para anggota IAI yang telah memiliki Sertifikat Keahlian atau arsitek ber-SKA. Sementara untuk kategori karya tulis arsitektur, peserta merupakan kalangan umum yang telah memiliki karya tulis di bidang arsitektur dan telah dipublikasikan di media cetak nasional maupun daerah.

Sebagai penilai, sepuluh dewan juri yang mengawal penghargaan ini terdiri dari Imelda Akmal selaku ketua dengan anggota Prof Yulianto Sumalyo IAI, Eko Alvarez IAI, Ikaputra IAI, Isandra Matin Ahmad IAI, Tan Tik Lam IAI, Daliana Suryawinata. Selain ketujuh juri dari kalangan arsitek tersebut, turut pula sosiolog Imam Prasodjo serta dua arsitek internasional, yaitu Winny Maas (MVRDV) dari Belanda dan Momoyo Kaijima (Atelier Bow Wow) dari Jepang. Hadirnya kedua juri internasional ini selain dapat turut memberi pertimbangan atas desain para peserta, juga diharapkan dapat memberi arti lebih akan ajang IAI Awards 2011 ini ke dunia arsitektur internasional.

Tahun ini, penjurian kategori bangunan karya arsitektur dilakukan melalui tiga tahap. Tahap pertama seluruh karya yang telah diverifikasi oleh masing-masing pengurus IAI Daerah dan Cabang tempat lokasi karya berada, diseleksi oleh para juri nasional untuk menentukan 25 karya nominasi penerima penghargaan. Dari 77 karya yang diterima, 62 karya berhak mengikuti penjurian, sementara sisanya tidak memenuhi persyaratan SKA arsitek dan batas minimum lama terbangun bangunan, yaitu minimum satu tahun. Para dewan juri sepakat membagi kategori karya bangunan ini berupa (1) bangunan rumah, hunian dengan luasan (1a) 0-200m2, (1b) hunian 200-1000m2, (1c) hunian diatas 1000m2, (2) bangunan public/umum, (3) bangunan komersial, dan (4) bangunan konservasi.

Hasilnya, dari 62 karya tersebut, terpilih sebanyak 29 karya yang berhak mengikuti penjurian tahap kedua, yaitu berupa kunjungan ke masing-masing karya. Pada penjurian tahap kedua ini, dewan juri mengunjungi masing-masing karya nominasi untuk dapat melihat langsung dan merasakan keberadaan obyek karya nominasi tersebut.

Sementara itu, pada penjurian tahap ketiga yang melibatkan seluruh anggota dewan juri, diadakan pula pameran ke-29 karya nominasi tersebut di Gedung Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia (UI) di Depok, Jawa Barat. Acara ini menjadi bagian dari acara Kuliah Umum IAI yang merupakan juga bagian dari rangkaian acara MuNas IAI XIII.

Melalui paparan hasil visitasi para juri dan diskusi yang panjang itu, sembilan dari sepuluh juri yang hadir sepakat menetapkan 8 (delapan) karya yang berhak menerima penghargaan karya arsitektur, sedangkan untuk kategori kawasan tidak ada peserta. Pengumuman kedelapan karya penerima penghargaan IAI Awards 2011 tersebut dilakukan pada acara MuNas IAI XIII 2011, akhir November 2011 lalu di Balikpapan, Kalimantan Timur. Mereka adalah:

- Kategori bangunan rumah tinggal: "Rumah 51 Jakarta" karya Sontang M. Siregar (IAI), "Pori-pori House Depok" karya Budi Pradono (IAI).

- Kategori bangunan untuk hunian 0-200m2: "Rumah Gelagah Depok" karya Sukendro Prioso (IAI) dan Jeffry Sandy (IAI)

- Kategori bangunan komersial: Hotel Sensa Bandung karya Budiman Hendropurnomo (IAI) dan "Taman Ahimsa Bali" karya Ketut Arte (IAI).

- Kategori bangunan publik: Gedung Kementerian Perdagangan RI Jakarta karya Budiman Hendropurnomo (IAI) dan "Surau Baitul Jalil Sumatra Barat" karya Timmy Setiawan (IAI).

- Kategori konservasi rumah tradisional: "Waerebo Nusa Tenggara Timur" karya Gregrorius Antar Awal (IAI).

- Kategori karya tulis arsitektur: "Kota Masa Depan yang Aksesibel" oleh Harry Kurniawan.

Kampus Hijau

Universitas Bung Hatta Padang Bangun Kampus Hijau
Rabu, 19 Januari 2011 05:49



PADANG--MICOM:
Universitas Bung Hatta (UBH) tengah membangun kampus baru di kawasan Padang By-Pass dengan konsep tata bangunan dan sarana pendukung yang peduli lingkungan hidup atau dikenal dengan sebutan kampus hijau.

Untuk menuju kampus hijau itu maka pada tahap awal pembangunan fisik gedung-gedung perkulihan juga diiringin dengan penanaman 1.000 batang pohon penghijauan yang saat ini tengah dilakukan, kata Wakil Rektor I UBH, Dr Eko Alvarez, MSAA di Padang, Selasa (18/1).

Gerakan penanaman 1.000 pohon itu dilakukan oleh mahasiswa UBH bersama masyarakat sekitar kampus, katanya. Menurut dia, pengembangan kampus UBH nantinya menjadi kampus yang nyaman dengan lingkungan hijau. Kampus nyaman pengertiannya bersih dan lingkungannya bagus.

Dengan konsep kampus hijau maka akan memanfaatkan kultur yang ada, termasuk pada arsitektur bangunan, karena pembangunan dilakukan di daerah resapan air yang secara otomatis akan dibangun banyak daerah resapan.

Nanti akan banyak dibuat situ atau embung dan meskipun kampus berformat sebagai kampus hijau namun arsitektur bangunan seluruhnya modern, tambahnya.

Pembangunan kampus baru UBH telah dimulai sejak April 2010 yang nantinya akan menampung perkembangan jumlah mahasiswa dan kegiatan akademis serta terkait antisapsi kerawanan bencana tsunami.

Rektor UBH, Prof Dr Ir Hafrijal Syandri, M.S menjelaskan, pembangunan kampus baru dilakukan dilahan seluas sekitar 10 hektar itu akan menghabiskan dana untuk tahap pertama mencapai Rp43,33 miliar.

Pada pembangunan tahap pertama I dibangun satu blok meliputi tiga bangunan, meliputi bangunan dekanat dengan biaya Rp10,88 miliar, bangunan dekanat II dengan dana Rp12,53 miliar dan bangunan laboratorium dengan anggaran Rp12,53 miliar.

Dana pembangunan tersebut Rp20 miliar diantaranya adalah Badan Nasional penanggulangan Bencana (BNPB) dan sisanya pinjaman dari perbankan dan bantuan donatur baik di Sumbar maupun daerah lain.

Menurut dia, pembangunan kampus Padang By Pass ini secara keseluruhan ditargetkan selesai pada 2020 dan diharapkan dapat menampung jumlah mahsiswa dan kegiatan akademis yang diproyeksikan meningkat dalam sepuluh tahun ke depan.

Ia menyebutkan, diproyeksikan pada tahun 2020 jumlah mahasiswa UBH mencapai 11.470 orang meningkat dari 8.584 orang yang terdaftar saat ini. Keberadaan kampus UBH Padang By Pass sekaligus sebagai antisipasi ancaman bencana tsunami, karena pusat perkulihan dan akademis kampus saat ini berada di kampus I kawasan Ulak Karang Padang yang berada di pesisir pantai.

Kampus I Ulak Karang masuk zona paling berbahaya (Red Zone) jika terjadi bencana tsunami, sedangkan kampus By Pass berada di kawasan berjarak lebih dari enam kilometer dari bibir pantai dan masuk daerah aman tsunami (Yellow Zone), katanya.

UBH merupakan perguruan tinggi swasta terbesar di Sumatra bagian tengah yang berdiri sejak 1981. Jumlah mahasiswa UBH saat ini 8.584 orang yang kuliah pada tujuh fakultas dengan 29 program studi. (Ant/OL-2)

Kasus Gapura Kampung Cina

Pemko tak Perlu Ikut Campur, Kasus Gapura Seharusnya tak ke Pengadilan

Padang Ekspres • Selasa, 28/02/2012 11:53 WIB

Limaumanih, Padek—Kasus gapura di Pondok ternyata tidak hanya mengundang perhatian warga keturunan Tionghoa, melainkan warga Padang lainnya. Padang kota tua yang seharusnya menjadi potensi ekonomi Padang, malah diobok-obok oleh persoalan sepele.


Persoalan itu dibahas Pusat Studi Humaniora Fakultas Ilmu Budaya Sumbar dalam diskusi terbatas dengan tema “Resolusi Konflik soal Identitas Kultural: Kasus Gapura Pondok Padang”. Dalam diskusi tersimpul, kaum Tionghoa diminta untuk menyelesaikan persoalan. Sementara, Pemko diminta memberi jarak untuk kasus ini.


Edy Utama (networker) sebagai moderator, mengeliminir anggapan adanya “aktor” di balik acara ini. Diadakannya diskusi di Gedung E Unand, untuk menunjukkan netralitas. Diskusi tidak hanya dihadiri akademisi, tetapi juga perwakilan kedua himpunan yang sedang dilanda masalah, Himpunan Bersatu Teguh (HBT) dan Himpunan Tjinta Teman (HTT).


“Begitu juga dengan pembicaranya. Andrinof Chaniago sudah saya tawari untuk jadi wali kota, tapi ia menolak. Jadi, Andrinof tidak mewakili siapa-siapa kecuali dirinya,” ujar Edy.


Selain Andrinof, pengamat kebijakan publik dari UI itu, hadir Dr Erniwati (pakar kaum Tionghoa dari UNP), Zaiyardam Zubir (dosen sejarah Unand), Eko Alvarez (ahli tata kota dari UBH). Sedangkan, Budiman Sudjatmiko (anggota DPR RI) yang juga diundang, tidak berkesempatan datang.


Diskusi dibagi dua. Paginya penjelasan panelis, siang FGD (focus Grup discussion). Pada sesi pagi, Erniwati menjelaskan sejarah kaum Tionghoa dengan orang Minang dalam bidang ekonomi. “Keterkaitan yang erat. Tionghoa mengurus impor, pedagang Minang mengurus domestik,” terangnya.


Andrinof menekankan filosofi memberikan izin untuk membangun. Selama tidak ada masalah dalam perizinan, tidak ada yang perlu dipertengkarkan. “Sejauh ini saya menilai, dari kasus tersebut tidak ada merugikan orang lain. Jika izin mendirikan bangunan yang dipersoalkan, hingga sekarang ini saya masih meragukan keabsahan izin-izin yang dikeluarkan pemerintah terhadap bangunan yang ada sekarang. Sebab, kebanyakan izin tersebut baru dikeluarkan setelah bangunan berdiri. Apalagi ini (kasus gapura), hanyalah kasus kecil,” ulasnya.


Ia malah melihat Kampung Pondok sebagai aset sosial dan modal. China Town dilihatnya belum tertata sebagai wisata kota tua. “Bagaimana kita bisa menerima harga jagung termahal di dunia di jembatan Siti Nurbaya,” ujarnya.


Sementara Zayyardam dalam pandangannya merasa heran dengan ikut sertanya Pemko (dalam hal ini Wali Kota) dalam urusan ini. “Pemimpin kita tak punya imajinasi,” katanya.


Eko Alvarez yang datang telat, menyuguhkan slide Padang lama beserta perubahan yang menyertainya. Tanpa disadari, banyak simbol yang hilang di sekitar kita. “Yang perlu kita ketahui, apa pentingnya simbol-simbol baru itu dibuat,” tanyanya.


Dia juga menyinggung gerbang gapura yang rupanya dulu sebuah pasar. Tapi, berdirinya gerbang tidak lagi bisa diketahui mana yang bagian depan atau belakang pasar.


Saat sesi pertanyaan, terungkap bahwa kasus gapura hanyalah akumulasi dari tiga persoalan besar sebelumnya. Termasuk, sesaat usai gempa. Warga Tionghoa merasa didiskriminasi dengan lambatnya bantuan masuk ke Kampung Pondok. Lalu, ada kasus pemukulan yang berujung pada pengadilan yang kemudian juga lenyap di tengah jalan.


M Taufiq dari IAIN Imam Bonjol melihat pangkal persoalan dari kebiasaan warga Tionghoa yang selalu dekat dengan kekuasaan. Ia mencurigai salah satu himpunan dekat dengan kekuasaan hari ini. Kekuasaan itu digunakan untuk menekan himpunan lain. “Sekarang, sandal orang HTT yang tertinggal di tempat HBT pun akan dipermasalahkan,” katanya.


“Malu Kami”
Begitu mendapat kesempatan bicara di FGD, Ridwan (perwakilan dari HBT) merasa malu, soal gapura ini sudah sampai sejauh ini. “Malu kami! Padahal, antara anggota HBT dan HTT tidak ada masalah. Hanya segelintir oknum pengurus,” katanya.


Penyelesaian di antara kedua himpunan bukan tidak dilakukan. Ridwan sendiri mengaku sudah mencoba mengambil inisiatif untuk mencari kedua twako himpunan. Tapi, tetap kata sepakat belum bisa ditemukan.


Albert Hendra Lukman, Bendahara HTT, mengakui ada rivalitas antara kedua himpunan. Tapi, masih dianggapnya dalam rivalitas positif. Hanya berlaku dalam bidang kesenian. “Kami sering ingin memperlihatkan persaingan dalam barongsai,” katanya.


Dulu, lanjutnya, tidak ada pergesekan seperti hari ini. Sebab, Pemko memang bertindak sebagai pengayom. “Tapi, pemimpin hari ini malah menggunakan salah satu dari kami untuk menekan yang lain,” katanya.


Tidak itu saja, pihak ketiga (yang bukan Pemko) sudah ikut campur dalam urusan ini. Ia menyebut partai politik, ormas dan individu yang ingin tetap kedua himpunan bertikai terlibat dalam persoalan ini. Ketika Edi Indrizal, dosen FISIP Unand, mendesak apa dan siapa persisnya yang ikut dalam kekeruhan itu, Albert enggan menyebutkannya.


Pertemuan merekomendasi agar persoalan kedua himpunan menyelesaikan persoalan dengan “adat” Tionghoa. Ini disepakati oleh perwakilan kedua himpunan yang hadir pada saat itu. Kemudian, forum meminta Pemko memberi ruang agar kedua himpunan bisa menyelesaikan persoalan internal mereka.


Erniwati juga meminta kedua himpunan bisa mendudukkan kedua twako dalam satu meja. “Agar para twako HBT dan HTT mampu duduk bersama dan menyatukan kata agar hal ini tidak lagi menjadi sebuah permasalahan bagi wali kota,” tukasnya.


Sebagaimana diberitakan, polemik gapura Hok Tek Tong ini semakin panas karena Wali Kota Padang Fauzi Bahar memerintahkan untuk membongkar gapura itu. Padahal, pembangunan gapura itu tak terlepas dari keinginan warga sekitar gapura untuk mengenang kembali keberadaan gang Hok Tek Tong sebagai salah satu pusat perdagangan dan melestarikan peninggalan budaya. (mg17)

Jalan Sandang Pangan Padang

Sepenggal jalan ini dikenal sebagai Jalan Sandang Pangan. Tidak pernah tahu kenapa diberi nama seperti itu, tapi informasi yang didapat bahwa jalan ini banyak punya cerita. Foto di ata adalah kondisi kawasan ini belakangan. Dari kejauhan terlihat kantor Balai Kota Padang, badan jalan yang tertutup oleh tenda berlapis-lapis, menghubungi dua bangunan besar di kedua sisinya. Inilah potret kondisi fisik pasar utama kota ini, yang setahu penulis, meski berlokasi di dekat Balai Kota, namun dari tahun ke tahun tidak pernah membaik kondisinya.

Kita (seharusnya) punya harapan baru dengan hadirnya bangunan hijau di sebelah kirinya. Bangunan yang semula direncanakan untuk mengurai benang kusut pengaturan ruang publik tersebut. Namun, informasi terakhir, bangunan hijau itu belum bisa dimanfaatkan sesuai rencana. Ada beberapa hal yang bisa catat, antara lain: bagaimana mengatur kaki lima di pusat kota, memfungsikan jalan dan trotoar sebagaimana mestinya, serta mengatur konflik pemanfaatan ruang di pusat kota.

Komersialisasi Ruang Publik

Kawasan pusat kota Padang secara visual semakin tinggi variasi-nya, salah satunya disebabkan oleh semakin tingginya pemanfaatan ruang-ruang potensial visual kota oleh dominasi iklan. Dominasi iklan dari berbagai macam jenis dan produk serta ukurannya, seolah-olah tidak ada lagi ruang tersisa untuk menikmati bangunan atau pemandangan kota.

Hampir semua kawasan kota di komersialkan, atau dengan kata lain dijual untuk iklan. Sebagian besar warga kota tidak pernah tahu, berapa pajak yang dihasilkan oleh iklan dan propaganda tersebut. Apakah sepadan dengan kehilangan keindahan kota, atau pajak tersebut dapat membangun kota lebih indah dan cantik lagi.

Tidak pernah tahu pula kita, siapa yang membayar dan bagaimana ketentuan membayar, seperti seluas apa untuk rupiah seberapa dan berapa lama. Yang kita tahu, semakin luas ruang visual potensial yang harus di jejali oleh iklan.

Minggu, 18 Maret 2012

Tepi Pantai Padang


Kawasan Tepi Laut Padang semakin digemari sebagai salah satu tempat wisata dan olah raga. Berbagai sarana fisik sudah dibangun, seperti jembatan, jalan, promenade, trotoar, dan berbagai kelengkapan lain. Namun sebagai sebagai sebuah ruang publik, masih perlu dilengkapi dengan bagaimana cara masyarakat memanfaatkannya. Agar tidak membuang sampah sembarangan, kaki lima yang semakin permanen, dan bangunan yang menutupi pemandangan ke arah laut.


Kaki Lima yang semakin permanen, dan menutupi pemandangan ke laut. Bentuk pembangunan sarana penunjang wisata seperti ini sangat tidak baik bagi perkembangan kawasan tepi pantai. Selain menimbulkan kesan tidak baik, cenderung menjadi sulit untuk dibersihkan, menghalagi pemandangan ke laut dan semakin meluasnya usaha pem-privatisasi ruang publik.

Meskipun Kota Padang mempunyai puluhan kilometer pantai, namun untuk mendapatkan pantai bersih dan luas di kawasan pusat kota, masyarakat masih merindukannya.

Masih perlu usaha pengelolaan sampah di kawasan ini.

Di beberapa tempat, terutama di kawasan dermaga yang baru, sudah mulai berkembang pedagang kaki lima. Tidak ada yang melarang berdagang di tempat umum, namun setelah selesai berdagang seharusnya di bersihkan dan jangan dijadikan ruang publik sebagai gudang.

eaz 18 Maret 2012