Eko Alvares Z

Senin, 28 April 2014

Rumah Gadang Sumpur Dikonservasi
Pascaterbakar, Lima Rumah Mulai Dibangun

Padang Ekspres • Senin, 21/04/2014 11:29 WIB • Redaksi • 385 klik
Sumpur, Padek—Lima dari 80 Rumah Gadang di Nagari Sum­pur, Jorong Nagari, Kecamatan Batipuh Selatan, Kabupaten Ta­nah­datar yang terbakar Mei 2013 lalu, kembali dikonservasi Ming­gu (20/4).

Konservasi rumah gadang di Nagari Sumpur ini dalam rangka peringatan Hari Pusaka Dunia (World Heritage Day) yang jatuh setiap tanggal 18 April.

Prosesi awal dimulai dengan memilah batang kayu yang di­gu­na­kan untuk tonggak tuo, di­lan­jut­kan dengan menebang, maelo kayu dari rimbo, manca­cah, ma­ra­kik dan batagak tunggak tuo.

Rumah gadang milik Etek Nuraini dari suku Panyalai men­ja­di yang pertama dibangun, sedangkan keempat rumah ga­dang lainnya akan menyusul setelah rumah gadang Etek Nu­rai­ni selesai.

Upaya konservasi kelima ru­mah gadang ini melibatkan se­mua pemangku adat, Forum Kam­puang Minang Nagari Sum­pur dan Ikatan Keluarga Sumpur (IKES), serta dimotori pusat studi konservasi arsitektur (pusaka) Universitas Bung Hatta dan didu­kung oleh Utomo Foundation, Badan Pelestari Pusaka Indonesia (BPPI), Pemkab Tanahdatar, dan Yori Antar.

Sebelum prosesi batagak tu­ng­gak tuo dilaksanakan, proses panjang dengan meminta ijin kepada keluarga besar dilakukan dengan disaksikan wali nagari, para datuk dan ninik mamak serta perangkat adat lainnya dila­ku­kan sebanyak 18 kali.

Hal ini dilakukan agar konser­vasi yang dilaksanakan tidak me­nim­bulkan masalah dikemudian hari dan kerapatan adat juga dapat mengawal prosesnya seca­ra baik dan benar. Tak hanya melakukan konservasi terhadap rumah gadang warisan budaya Minangkabau, kegiatan ini juga membangkitkan kembali sema­ngat gotong-royong dan kearifan lokal yang hampir ditinggalkan.

Tak hanya kembali memba­ngun lima rumah gadang yang hangus terbakar, upaya dan inisi­a­tif yang dilakukan para perantau yang tergabung dalam Ikatan Kelurga Sumpur (IKES) dan ma­sya­rakat Sumpur ini juga akan menjadikan Nagari Sumpur seba­gai warisan budaya yang berpo­ten­si menjadi salah satu tujuan wisata budaya dunia.

“Batagak tuo di Nagari Sum­pur ini baru merupakan langkah awal dari konservasi yang kita lakukan bersama, masih ada em­pat rumah gadang lainnya yang nanti akan kita bangun bersama guna menjaga kelestarian wari­san budaya,” ucap, Eko Alvares, ketua Pusat Studi Konservasi Arsitektur UBH, kemarin.

“Yang jelas apa yang diupaya­kan ini merupakan sumbangsih terhadap pelestarian rumah adat di Minangkabau,” tambahnya.

Menurut Badan Pelestari Pu­sa­ka Indonesia kegiatan konser­vasi ini juga merupakan salah satu agenda tahunan yang sudah memasuki Dekade III Gerakan Pusaka Indonesia 2014-2023 dan juga dalam rangka peringatan Hari Pusaka Dunia. “Dengan berjalannya kegiatan ini, harapan ke depan Pemerintahan Kabupa­ten Tanahdatar dapat berperan aktif dalam jaringan kota Pusaka Indonesia (JKPI) melalui Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka Indonesia agar bera­-gam pusaka yang dimiliki baik pusaka alam, pusaka budaya mau­­pun pusaka saujana dapat terjaga dengan baik,” ungkap Catrini Pratihari, Direktur Ekse­kutif BPPI.

Sementara itu, Novesman Datuak Bagindo Majo Lelo, tu­kang tuo menyebutkan, ia bersa­ma dengan enam rekannya diper­ca­yai membangun kembali ru­mah gadang milik Etek Nuraini. Untuk bahan materialnya, rumah gadang kali ini menggunakan jenis kayu jua yang hanya ada dan tumbuh di Kabupaten Tanah­datar. Kayu jua merupakan kayu yang hampir mirip dengan kayu jenis ulin, namun kayu jua lebih kokoh dan kuat dan tak mudah dimakan rayap. Rumah Gadang milik Etek Nuraini  dibangun dengan ukuran 17,2 meter x 7,80 meter, memiliki enam buah ka­mar dengan total ketinggian hing­ga gonjong men­capai 10,47 meter.

Sebelumnya, lima rumah ga­dang habis di lalap si jago merah. Rencana menjadikan kawasan ini sebagai cagar budaya dan salah satu tujuan wisata budaya dunia­pun tertunda, namun dengan se­ma­ngat yang tinggi untuk mem­­bang­kitkan nilai budaya, pem­bangunan inipun terlaksana. (pl1)


Rabu, 23 April 2014

Tunggak Tuo, Tiang Utama Rumah Gadang

Tunggak Tuo, Tiang Utama Rumah Gadang

Tunggak Tuo
Tunggak tuo adalah tiang utama rumah gadang. Tiang inilah yang didirikan terlebih dahulu sebelum struktur bangunan yang lain. (Foto: Arjuna)
RANAHBERITA- Dalam proses ‘batagak tunggak tuo’ rumah gadang di Nagari Sumpur, Kecamatan Batipuah, Kabupaten Tanah Datar, harus melalui prosesi adat. Penyerahan tanggungjawab pembangunan kepada tukang dihiasi dengan berbalas petatah petitih.
Setelah proses ‘maelo kayu dari rimbo’ dan mancacah selesai, rapat adat digelar. Minggu 20 April 2013, semua petinggi adat di kampung itu datang, termasuk ‘tukang tuo’ atau kepala tukang. Mereka hadir di medan nan bapaneh di sekitar lokasi bangunan mengenakan pakaian kebesaran adat.
Dalam kesempatan ini, juga hadir elemen pemerintahan kabupaten, Pusat Studi Konservasi Arsitektur Universitas Bung Hatta, Badan Pelestari Pusaka Indonesia dan masyarakat setempat.
Para petinggi kaum, mulai berpidato sebagai pembuka rapat. Pidato dalam bahasa Minang ‘saisuak’ itu terdengar bak pantuk bersajak ab-ab. Kemudian, pemilik rumah atau yang disebut ‘sipangka’, mulai memenanyakan kesiapan tukang untuk membangun rumah ke depannya.
Assalamulaikum Angku Datuak. Ujuang pasambahan pado Sutan. Adopun kamudian dari pado itu, kabasaran Allah Ta’ala, mako bacaritolah Datuak Suri Dirajo kapado cucu dan rakyatnyo. Karano bumi lah basentak naiak, lauik pun basentak turun, anak kamanakan lah batambah banyak, mako dibueklah rumah tampek kasanangan, dimano anak cucu sukoi. Mako dipanggialah baduo sakato, batigo sakato dan ampek sakato, mako dibaolah ka gunuang marapi mancari kayu nan elok nan sadang babuah labek, gadang nan bukan alang-alang. Mako dipukualah kayu nantun, dek tukan pandai mancari, mandanguanglah kayu nan basah batuah, dinamoi indak dinamoi, Allah ta’ala sajo nan tau. Mako dimulai manabang kayu, dek tukang pandai manabang, dengan bismillah kapak diayun,” begitu kutipan dalam pidato pembuka.
Bersilat lidah dimulai. Dari sipangka ke tukang tuo, lalu dilempar lagi ke pihak lain, diskusi itu berlangsung lebih kurang satu jam. Hingga akhirnya dapat diputuskan, bahwa sipangka memberi kepercayaan kepada tukang dan tukang siap untuk membangun.
“… Dipanggia sagalo tukang, tukang tarah lah manarah, tukang kabuang lah mangabuang, tukang paek lah mamaek, tukang galiek lah manggaliek, cukuiklah kasadonyo, mako didirikanlah rumah nantun, …”
Kumandang azan menggema, rapat selesai. Semua berdiri dan menuju ke lokasi tunggak tuo yang sudah dirangkai. Sebelum ditegakkan, tunggak tuo dan semua kayu yang akan digunakan dilumuri darah terlebih dahulu. Dua orang terlihat memegang ayam kampung jantan, lalu disembelih.
Satu orang kemudian mengaliri darahnya ke bahan kayu yang berada di sekitar lokasi. Usai ritual mendarahi, masyarakat yang dibantu mahasiswa arsitektur UBH mulai mengambil posisi. Sebahagian bersiap untuk menarik tali dan sebahagian lain siap untuk mengangkatnya.
Dalam hitungan menit, dengan tenaga puluhan orang, tunggak tuo berdiri. Para tukang lalu memberi penyanggah agar tidak rebah. Prosesi batagak tunggak tuo selesai. Pembangunan selanjutnya dikerjakan oleh tukang dan masyarakat sesuai ketersediaan bahan yang ada.
Masyarakat yang hadir waktu itu bubar dan makan siang bersama. Makanan sudah disiapkan oleh kaum bundo kanduang. Tentunya, dalam jamuan tersaji makanan tradisional Minang yang mendunia, rendang. (Arjuna/Ed1)
Tunggak Tuo
Tunggak tuo adalah tiang utama rumah gadang. Tiang inilah yang didirikan terlebih dahulu sebelum struktur bangunan yang lain. (Foto: Arjuna)
RANAHBERITA- Dalam proses ‘batagak tunggak tuo’ rumah gadang di Nagari Sumpur, Kecamatan Batipuah, Kabupaten Tanah Datar, harus melalui prosesi adat. Penyerahan tanggungjawab pembangunan kepada tukang dihiasi dengan berbalas petatah petitih.
Setelah proses ‘maelo kayu dari rimbo’ dan mancacah selesai, rapat adat digelar. Minggu 20 April 2013, semua petinggi adat di kampung itu datang, termasuk ‘tukang tuo’ atau kepala tukang. Mereka hadir di medan nan bapaneh di sekitar lokasi bangunan mengenakan pakaian kebesaran adat.
Dalam kesempatan ini, juga hadir elemen pemerintahan kabupaten, Pusat Studi Konservasi Arsitektur Universitas Bung Hatta, Badan Pelestari Pusaka Indonesia dan masyarakat setempat.
Para petinggi kaum, mulai berpidato sebagai pembuka rapat. Pidato dalam bahasa Minang ‘saisuak’ itu terdengar bak pantuk bersajak ab-ab. Kemudian, pemilik rumah atau yang disebut ‘sipangka’, mulai memenanyakan kesiapan tukang untuk membangun rumah ke depannya.
Assalamulaikum Angku Datuak. Ujuang pasambahan pado Sutan. Adopun kamudian dari pado itu, kabasaran Allah Ta’ala, mako bacaritolah Datuak Suri Dirajo kapado cucu dan rakyatnyo. Karano bumi lah basentak naiak, lauik pun basentak turun, anak kamanakan lah batambah banyak, mako dibueklah rumah tampek kasanangan, dimano anak cucu sukoi. Mako dipanggialah baduo sakato, batigo sakato dan ampek sakato, mako dibaolah ka gunuang marapi mancari kayu nan elok nan sadang babuah labek, gadang nan bukan alang-alang. Mako dipukualah kayu nantun, dek tukan pandai mancari, mandanguanglah kayu nan basah batuah, dinamoi indak dinamoi, Allah ta’ala sajo nan tau. Mako dimulai manabang kayu, dek tukang pandai manabang, dengan bismillah kapak diayun,” begitu kutipan dalam pidato pembuka.
Bersilat lidah dimulai. Dari sipangka ke tukang tuo, lalu dilempar lagi ke pihak lain, diskusi itu berlangsung lebih kurang satu jam. Hingga akhirnya dapat diputuskan, bahwa sipangka memberi kepercayaan kepada tukang dan tukang siap untuk membangun.
“… Dipanggia sagalo tukang, tukang tarah lah manarah, tukang kabuang lah mangabuang, tukang paek lah mamaek, tukang galiek lah manggaliek, cukuiklah kasadonyo, mako didirikanlah rumah nantun, …”
Kumandang azan menggema, rapat selesai. Semua berdiri dan menuju ke lokasi tunggak tuo yang sudah dirangkai. Sebelum ditegakkan, tunggak tuo dan semua kayu yang akan digunakan dilumuri darah terlebih dahulu. Dua orang terlihat memegang ayam kampung jantan, lalu disembelih.
Satu orang kemudian mengaliri darahnya ke bahan kayu yang berada di sekitar lokasi. Usai ritual mendarahi, masyarakat yang dibantu mahasiswa arsitektur UBH mulai mengambil posisi. Sebahagian bersiap untuk menarik tali dan sebahagian lain siap untuk mengangkatnya.
Dalam hitungan menit, dengan tenaga puluhan orang, tunggak tuo berdiri. Para tukang lalu memberi penyanggah agar tidak rebah. Prosesi batagak tunggak tuo selesai. Pembangunan selanjutnya dikerjakan oleh tukang dan masyarakat sesuai ketersediaan bahan yang ada.
Masyarakat yang hadir waktu itu bubar dan makan siang bersama. Makanan sudah disiapkan oleh kaum bundo kanduang. Tentunya, dalam jamuan tersaji makanan tradisional Minang yang mendunia, rendang. (Arjuna/Ed1)

Tunggak Tuo, Tiang Utama Rumah Gadang

Tunggak Tuo, Tiang Utama Rumah Gadang

Tunggak Tuo
Tunggak tuo adalah tiang utama rumah gadang. Tiang inilah yang didirikan terlebih dahulu sebelum struktur bangunan yang lain. (Foto: Arjuna)
RANAHBERITA- Dalam proses ‘batagak tunggak tuo’ rumah gadang di Nagari Sumpur, Kecamatan Batipuah, Kabupaten Tanah Datar, harus melalui prosesi adat. Penyerahan tanggungjawab pembangunan kepada tukang dihiasi dengan berbalas petatah petitih.
Setelah proses ‘maelo kayu dari rimbo’ dan mancacah selesai, rapat adat digelar. Minggu 20 April 2013, semua petinggi adat di kampung itu datang, termasuk ‘tukang tuo’ atau kepala tukang. Mereka hadir di medan nan bapaneh di sekitar lokasi bangunan mengenakan pakaian kebesaran adat.
Dalam kesempatan ini, juga hadir elemen pemerintahan kabupaten, Pusat Studi Konservasi Arsitektur Universitas Bung Hatta, Badan Pelestari Pusaka Indonesia dan masyarakat setempat.
Para petinggi kaum, mulai berpidato sebagai pembuka rapat. Pidato dalam bahasa Minang ‘saisuak’ itu terdengar bak pantuk bersajak ab-ab. Kemudian, pemilik rumah atau yang disebut ‘sipangka’, mulai memenanyakan kesiapan tukang untuk membangun rumah ke depannya.
Assalamulaikum Angku Datuak. Ujuang pasambahan pado Sutan. Adopun kamudian dari pado itu, kabasaran Allah Ta’ala, mako bacaritolah Datuak Suri Dirajo kapado cucu dan rakyatnyo. Karano bumi lah basentak naiak, lauik pun basentak turun, anak kamanakan lah batambah banyak, mako dibueklah rumah tampek kasanangan, dimano anak cucu sukoi. Mako dipanggialah baduo sakato, batigo sakato dan ampek sakato, mako dibaolah ka gunuang marapi mancari kayu nan elok nan sadang babuah labek, gadang nan bukan alang-alang. Mako dipukualah kayu nantun, dek tukan pandai mancari, mandanguanglah kayu nan basah batuah, dinamoi indak dinamoi, Allah ta’ala sajo nan tau. Mako dimulai manabang kayu, dek tukang pandai manabang, dengan bismillah kapak diayun,” begitu kutipan dalam pidato pembuka.
Bersilat lidah dimulai. Dari sipangka ke tukang tuo, lalu dilempar lagi ke pihak lain, diskusi itu berlangsung lebih kurang satu jam. Hingga akhirnya dapat diputuskan, bahwa sipangka memberi kepercayaan kepada tukang dan tukang siap untuk membangun.
“… Dipanggia sagalo tukang, tukang tarah lah manarah, tukang kabuang lah mangabuang, tukang paek lah mamaek, tukang galiek lah manggaliek, cukuiklah kasadonyo, mako didirikanlah rumah nantun, …”
Kumandang azan menggema, rapat selesai. Semua berdiri dan menuju ke lokasi tunggak tuo yang sudah dirangkai. Sebelum ditegakkan, tunggak tuo dan semua kayu yang akan digunakan dilumuri darah terlebih dahulu. Dua orang terlihat memegang ayam kampung jantan, lalu disembelih.
Satu orang kemudian mengaliri darahnya ke bahan kayu yang berada di sekitar lokasi. Usai ritual mendarahi, masyarakat yang dibantu mahasiswa arsitektur UBH mulai mengambil posisi. Sebahagian bersiap untuk menarik tali dan sebahagian lain siap untuk mengangkatnya.
Dalam hitungan menit, dengan tenaga puluhan orang, tunggak tuo berdiri. Para tukang lalu memberi penyanggah agar tidak rebah. Prosesi batagak tunggak tuo selesai. Pembangunan selanjutnya dikerjakan oleh tukang dan masyarakat sesuai ketersediaan bahan yang ada.
Masyarakat yang hadir waktu itu bubar dan makan siang bersama. Makanan sudah disiapkan oleh kaum bundo kanduang. Tentunya, dalam jamuan tersaji makanan tradisional Minang yang mendunia, rendang. (Arjuna/Ed1)

Perantau Sumpur Pulang Kampung, Konservasi Rumah Gadang Dimulai

Perantau Sumpur Pulang Kampung, Konservasi Rumah Gadang Dimulai

Perantau Sumpur
Dosen Arsitektur Uiversitas Bung Hatta Dr Eko Alvares dan mahasiswa ikut terlibat dalam pembangunan awal rumah gadang di Nagari Sumpur. (Foto: Arjuna)
RANAHBERITA-Perantau Nagari Sumpur yang tergabung dalam Ikatan Keluarga Sumpur (IKES) dan Forum Kampuang Minang Nagari Sumpur berupaya untuk mewujudkan Nagari Sumpur sebagai kawasan pusaka.
Untuk itu, mereka mendata dan melakukan konservasi rumah gadang yang telah rusak di Nagari SUmpur yang berada di Kecamatan Batipuah Selatan, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat ini.
Rumah gadang pertama yang dikonservasi adalah satu dari lima rumah gadang yang terbakar pada 26 Mei 2013 lalu. Lima rumah gadang yang hangus tersebut bagian dari 68 rumah gadang terdapat di nagari tersebut.
Pembangunan ini telah dimulai dengan usaha mencari donatur. Hingga didapatkan dan mulai proses pembangunan yang ditandai dengan ‘batagak tonggak tuo’ hari ini, Minggu 20 April 2014. Batagak tonggak tuo merupakan prosesi pendirian tiang pertama bangunan rumah gadang tersebut.
“Yang menjadikan istimewa, kegiatan ini melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat setempat, komunitas dan mahasiswa Universitas Bung Hatta. Sehingga secara tidak langsung membangkitkan kembali semangat gotong royong masyarakat yang hampir punah di negeri tercinta ini,” kata Domy, salah seorang anggota IKES.
Usaha membangun nagari ini, sudah dimulai sejak tahun lalu. Seperti ‘duduak basamo’ (duduk bersama) antar seluruh elemen masyarakat dengan tema “Sumpur, Warisan Budaya yang Berpotensi Menjadi Tujuan Wisata Budaya Dunia” pada 15 Juli 2013 lalu.
Targetnya, masyarakat berharap Nagari Sumpur bisa menarik wisatawan dalam dan luar negeri. Konsepnya, pengunjung menginap di rumah gadang dan ikut dalam kegiatan sehari-hari masyarakat. Seperti ke sawah, mencari ikan dan kegiatan sosial lainnya.
Guru Besar Aristektur Institut Teknologi Surabaya Prof. Josef Prijotomo mengatakan Nagari Sumpur ini menarik. Menurutnya, masyarakat bisa menerima pengaruh luar, tapi tidak meninggalkan tradisi.
“Kasus Nagari SUmpur ini menarik untuk diteliti. Dalam hal bangunan adat ini, di Sumpur bisa ditemukan 100 persen bangunan tradisional. Masyarakat menerima nilai Eropa, tapi tidak meninggalkan unsur budaya lokalnya,” kata Profesor yang sudah mengunjungi berbagai rumah adat masyarakat yang ada di Indonesia.
Nilai eropa yang dimaksud adalah bangunan beton yang dibawa Belanda dan berkembang hingga sekarang. (Arjuna/Ed1)

Maelo Kayu’, Proses Awal Membangun Rumah Gadang

Maelo Kayu’, Proses Awal Membangun Rumah Gadang

Maelo Kayu
Prosesi membangun rumah gadang dimulai dengan maelo (menghela) kayu yang akan dijadikan tunggak tuo (tiang utama). Foto: Arjuna
RANAHBERITA- Masyarakat Nagari Sumpur Kecamatan Batipuah Selatan, Kabupaten Tanah Datar bertekad menjadikan kampung mereka sebagai nagari wisata kampung Minang. Untuk itu, sejumlah rumah gadang yang sudah lapuk dan terbakar kembali dibangun.
Pembangunan tersebut dimulai dengan membangun kembali rumah gadang rumah gadang yang terbakar tahun lalu. Prosesi pembangunan rumah gadang dimulai pada Sabtu (19/4/2014) dan Minggu (20/4/2014) kemarin.
Prosesi membangun rumah gadang dilalui sesuai tradisi masa silam. Proses pertama dari semua tahap pembangunan rumah gadang di nagari itu, yakni menghela kayu dari hutan ke lokasi yang akan dijadikan rumah.
Pada Sabtu, dengan mengenakan celana tradisional Minang, galembong, puluhan masyarakat setempat sudah masuk ke dalam hutan untuk menebang kayu yang akan dijadikan tiang pertama.
Tiang pertama ini disebut dengan tunggak tuo. Pohon yang digunakan disebut masyarakat jenis kayu batang jua. Masayarakat memilih ukuran kayu yang pantas untuk digunakan sesuai alua jo patuik.
Kayu mulai ditebang dengan dengan kapak sebagai pembuka, lalu dilanjutkan dengan mesin penebang kayu. Setelah roboh, pohon mulai dipotong. Kayu dibentuk menjadi tunggak tuo yang akan digunakan sepanjang 9,5 meter. Setelah selesai, tunggak tuo diangkut bersama-sama ke tengah kampung.
Untuk membawa tunggak tuo, tidak bisa dilakukan oleh sepuluh orang, tapi sekitar 40 orang. Tidak hanya itu, harus ada pengganti yang siap membantu ketika ada yang kelelahan.
Menarik kayu dari hutan ini disebut dengan maelo kayu dari rimbo. Caranya, di bawah tunggak tuo diberi kayu menyilang. Kayu tersebut sebagai pegangan untuk kedua ujung-ujungnya. Lalu diangkut bersama-sama menuruni dan mendaki jalan setapak hingga ke lokasi bangunan.
Setelah tunggak tuo di lokasi, tukang mulai mencacah tunggak tuo. Mencacah merupakan proses pembentukan sesuai kebutuhan, misalnya melubangi dengan pepat manual. Lubang yang dibuat langsung diisi dengan kayu penghubung dengan tiang lainnya.
Tunggak tuo dirangkai dengan tiga tiang lainnya. Setelah selesai, matahari mulai terbenam di ufuk barat. Tukang istirahat dan ditunggu hari esok untuk diteggakkan. (Arjuna/Ed1)

Membangun Rumah Gadang Gajah Maharam, Ranahberita.com

Membangun Rumah Gadang Gajah Maharam

Gajah Maram
Masyarakat Nagari Sumpur berunding sebelum memulai prosesi proses batagak tunggak tuo (mendirikan tiang utama) rumah gadang gajah muharam. (Foto: Arjuna)
RANAHBERITA-Tunggak tuo rumah gadang yang sedang dibangun di Nagari Sumpur, Kecamatan batipuah Selatan, Kabupaten Tanah Datar sudah berdiri. Rumah gadang berjenis rumah gadang gajah maharam.
Rumah gadang yang dibangun ini merupakan milik keluarga Nuraini. Satu dari lima rumah gadang yang terbakar 26 Mei 2013 silam.
“Rumah gadang yang sedang dibangun ini jenis rumah gadang gajah maharam,” kata Ammar Dt Basa nan Tinggi, Ketua Seksi Adat dan Syara’ Kerapatan Adat Nagari Sumpur kepada ranahberita.com, Minggu (20/4/2014).
Menurut tukang tuo atau kepala tukang Novesman Dt Bagindo majo Lelo, rumah ini membutuhkan 30 tiang. Tiang setinggi 9,5 meter enam buah, 12 tiang setinggi 6 meter dan 12 tiang setinggi lima meter.
Tunggak tuo satu dari enam tiang yang memiliki tinggi 9,5 meter tersebut. “Dinamakan tunggak tuo, karena tiang itu yang didirikan pertama kali. Tunggak tuo memiliki diameter pangkal 30 cm dan ujung 20 cm,” kata Novesman, Minggu 20 April 2014.
Semua tiang tersebut menggunakan kayu batang jua. Perkiraan Novesman, butuh sekitar 40 kubik kayu untuk bahan keseluruhan, termasuk dinding dan lantai serta kasau.
Dalam rancangannya, rumah ini terdiri dari lima ruang, empat gonjong dan enam kamar. Panjang secara keseluruhan bangunan 17,2 meter dan lebar 7,80 meter dengan ketinggian total 10,47 meter. Untuk kamar, panjangnya 3,9 meter dan lebar 2,30 meter.
Bangunan yang menghadap ke matahari terbenam ini, kamar dibuat di bagian belakang berjajar. Sehingga, ada ruang lepas panjang di bagian depan. Lantai kamar lebih tinggi 20 cm dari lantai ruangan lepas. Lantai ruangan depan itu berada 1,8 meter dari permukaan tanah dan kamar dua meter dari permukaan tanah.
Untuk pintu masuk, ada dua, di depan dan belakang. Tangganya memiliki 7 anak. Kemudian enam pintu kamar. Empat jendela di depan dan dua jendela di dinding bagian kiri dan kanan, tepatnya di dua kamar paling ujung.
Sebab rumah tinggal, tentunya membutuhkan dapur. Dapur akan dibangun belakangan, sesuai kebutuhan pemilik rumah.
“Untuk waktu penyelesaian tidak bisa ditentukan sekarang. Sebab, itu berdasarkan ketersediaan bahan, tapi kita akan bekerja semaksimal mungkin,” kata Novesman yang sudah membangun empat rumah gadang sebelumnya. (Arjuna/Ed1)

Kampus I Universitas Bung Hatta


Kampus I Universitas Bung Hatta, Jalan Sumatera, Ulak Karang, Padang
Ini merupakan salah satu dari tiga kampus Universitas Bung Hatta, dengan luas lebih kurang 5 ha. Meskipun ada rencana akan memindahkan sebagian kegiatan perkuliahan ke kampus II di Aie Pacah, By Pass, Padang, namun kampus ini akan dikembangkan sebagai fasilitas vocational school dan pusat riset. Direncanakan jalan tepi pantai yang menghubungkan Bandara International Minangkabau dan pusat kota Padang selesai maka kampus ini akan terus berkembang sebagai salah satu kawasan emas yang merupakan aset utama kampus.

Lima Rumah Gadang Nagari Sumpur Di Bangun Kembali

PRO SUMBAR
Lima Rumah Gadang Nagari Sumpur Di Bangun Kembali

Padang Ekspres • Minggu, 20/04/2014 15:28 WIB • Andri Mardiansyah • 659 klik

Lima dari 80 Rumah gadang di Nagari Sumpur, Jorong Nagari, Kecamatan Batipuh Selatan Kabupaten Tanah Datar yang terbakar Mei 2013 lalu, kembali di Konservasi Minggu (20/4). Prosesi awal di mulai dengan Memilah batang kayu yang digunakan untuk tonggak tuo, dilanjutkan dengan menebang, maelo kayu dari rimbo, Mancacah, Marakik dan Batagak Tunggak Tuo. Rumah Gadang milik Etek Nuraini dari suku Panyalai menjadi yang pertama dibangun, sedangkan keempat Rumah Gadang lain nya akan menyusul setelah pembangunan Rumah Gadang Etek Nuraini selesai. Konservasi Rumah Gadang di Nagari Sumpur ini juga dalam rangka peringatan Hari Pusaka Dunia (World Heritage Day) yang jatuh setiap tanggal 18 April.

Upaya konservasi atau pembangunan kembali kelima Rumah Gadang ini melibatkan semua pemangku kepentingan adat, Forum Kampuang Minang Nagari Sumpur dan Ikatan Keluarga Sumpur (IKES), serta di motori oleh pusat studi konservasi arsitektur (pusaka) Universitas Bung Hatta dan didukung oleh Tirto Utomo Foundation, Badan Pelestari Pusaka Indonesia (BPPI), Pemerintah Kabupaten Tanah Datar, dan Yori Antar.

Sebelum prosesi Batagak tunggak Tuo dilaksanakan, proses panjang dengan meminta ijin kepada keluarga besar dilakukan dengan disaksikan oleh Wali Nagari, para Datuk dan Ninik Mamak serta perangkat adat lainnya dilakukan hampir sebanyak 18 kali. Hal ini dilakukan agar konservasi yang dilaksanakan tidak menimbulkan masalah dikemudian hari dan Kerapatan Adat juga dapat mengawal prosesnya secara baik dan benar. Tak hanya melakukan konservasi terhadap rumah gadang warisan budaya Minangkabau, kegiatan ini juga membangkitkan kembali semangat gotong royong dan kearifan lokal yang hampir ditinggalkan.

Tak hanya kembali membangun Lima Rumah Gadang yang hangus terbakar, upaya dan inisiatif yang dilakukan para perantau yang tergabung dalam Ikatan Kelurga Sumpur (IKES) dan masyarakat Sumpur ini juga akan menjadikan Nagari Sumpur sebagai warisan budaya yang berpotensi menjadi salah satu tujuan wisata budaya dunia.

"Batagak Tuo di Nagari Sumpur ini baru merupakan langkah awal dari konservasi yang kita lakukan bersama, masih ada empat rumah gadang lain nya yang nanti akan kita bangun bersama guna menjaga kelestarian warisan budaya,"ucap, Eko Alvares, ketua Pusat Studi Konservasi Arsitektur UBH, Minggu (20/4)

Selain melibatkan masyarakat setempat, konservasi kali ini di topang oleh riset yang mendalam
tentang Rumah Gadang di masa lampau sebagai bahan referensi, disamping juga komunikasi yang baik dengan semua pemangku adat dan penyesuaian adat istiadat budaya setempat yang berlaku. Yang jelas apa yang diupayakan ini merupakan sumbangsih terhadap pelestarian rumah adat di Minangkabau,"tambah, Eko Alvarez

Menurut Badan Pelestari Pusaka Indonesia kegiatan konservasi ini juga merupakan salah satu agenda tahunan yang sudah memasuki Dekade III Gerakan Pusaka Indonesia 2014-2023 dan juga dalam rangka peringatan Hari Pusaka Dunia,"Dengan berjalan nya kegiatan ini, harapan kedepan Pemerintahan Kabupaten Tanah Datar dapat berperan aktif dalam jaringan kota Pusaka Indonesia (JKPI) melalui Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka Indonesia agar beragam Pusaka yang dimiliki baik Pusaka Alam, Pusaka Budaya maupun Pusaka Saujana dapat terjaga dengan baik,”kata Catrini Pratihari, Direktur Eksekutif BPPI.

Sementara itu, Novesman Datuak Bagindo Majo Lelo, Tukang Tuo menyebutkan, ia bersama dengan enam rekan nya dipercayai untuk membangun kembali Rumah Gadang milik Etek Nuraini. Untuk bahan material nya, Rumah Gadang kali ini menggunakan jenis kayu Jua yang hanya ada dan tumbuh di kawasan Kabupaten Tanah Datar, kayu Jua merupakan kayu yang hampir mirip dengan kayu jenis Ulin, namun Kayu Jua lebih kokoh dan kuat dan tak mudah di makan rayap. Rumah Gadang milik Etek Nuraini ini dibangun dengan ukuran panjang 17,2 meter dan lebar 7,80 meter, dan memiliki enam buah kamar dengan total ketinggian hingga gonjong mencapai 10,47 meter.

Diketahui sebelumnya, Lima Rumah Gadang berusia ratusan tahun yang merupakan warisan kebesaran masa lalu Minangkabau di Jorong Nagari, Nagari Sumpur, Batipuh Selatan, Minggu dinihari 26 Mei 2013 lalu habis di lalap si Jago merah. Rencana menjadikan kawasan ini sebagai Cagar budaya dan salah satu tujuan wisata budaya dunia pun tertunda, namun dengan semangat yang tinggi untuk membangkitkan nilai budaya, pembangunan ini pun terlaksana. (*)
[ Red/newspadek ]

Rabu, 12 Maret 2014


Banyak proses peremajaan kota dilakukan dengan mereduksi jalur sirkulasi menjadi pedestrian. Ini salah satu usaha yang memperlihatkan bahwa penataan kota memerlukan usaha untuk memberikan ruang yang lebih besar bagi kepentingan sosialisasi warga kota.