Khatib Dijadikan Kawasan Bisnis
Dian: Itu Mengacu RTRW Padang
Padang Ekspres • Selasa, 14/05/2013 13:34 WIB • Adiyansyah Lubis • 575 klik
Sawahan, Padek—Pemko
Padang menetapkan kawasan Jalan Khatib Sulaiman sebagai pusat
perdagangan dan kesehatan. Antara lain bidang perhotelan, jual beli
kendaraan (showroom) dan rumah sakit.
Kebijakan itu seiring telah berdirinya sejumlah rumah sakit, sekolah, dan usaha perdagangan dan jasa di kawasan tersebut.
Berdasar Perda No 4/2012 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) Padang, Jalan Khatib Sulaiman untuk kegiatan
rumah sakit dan bisnis. “Di Khatib, kan bisa dilihat, ada RS Yayasan
Jantung, SD Al Azhar, show room, dan usaha perdagangan dan
jasa lainnya,” kata Kepala Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan (TRTB) dan
Permukiman Padang, Dian Fakri usai rapat dengar pendapat di gedung
DPRD Padang kemarin (13/5).
Tanggapan Dian itu sekaligus menjawab
kritikan pengusaha Basrizal Koto (Basko) terkait pemberian perizinan
kepada Lippo Group untuk membangun kawasan bisnis terpadu, rumah
sakit, mal, sekolah dan hotel bertaraf internasional di kawasan Khatib
Sulaiman.
Dia tak menampik jika di masa Wali Kota
Padang Zuiyen Rais, ada larangan membangun hotel di kawasan Khatib
Sulaiman karena memang RTRW-nya tidak memperbolehkan untuk itu. Namun
seiring berjalannya waktu, RTRW itu berubah mengingat kondisi Padang
rawan gempa dan tsunami.
Kawasan-kawasan pinggir pantai kini
diperbolehkan salah satunya untuk pusat perdagangan dan bisnis. “Perda
RTRW berubah setiap waktu. Pak Zuiyen Rais waktu menjadi Wako tidak
salah melarang pembangunan hotel di kawasan Khatib Sulaiman karena
memang perdanya tidak mendukung seperti itu. Sedangkan di masanya Wali
Kota Fauzi Bahar, ada perda yang mendukung untuk itu. Karena dulu
memang tidak terungkap potensi tsunami di Padang ini,” tutur Dian.
Perda RTRW Padang tersebut, katanya juga lebih diarahkan sebagai upaya mitigasi bencana.
“Membangun perumahan di kawasan Bypass,
sedangkan di kawasan tak jauh dari pinggir pantai diutamakan
bangunan besar, tujuannya untuk bumper tsunami. Untuk itu segala
macam kemudahan berinvestasi kita berikan kepada siapa pun,”
tegasnya.
Dian mengatakan, Khatib Sulaiman salah satu kawasan padat kendaraan. Karena itu, Pemko meminta Lippo Group membuat parkir di basement. “Sebelum memberikan izin, tentu kita juga memikirkan dampaknya, seperti kemacetan,” tutur Dian.
Karena itu, dia mengajak semua pihak
berpikir positif dengan investasi dari Lippo Group tersebut. “Saya juga
selalu mendorong kalau di zona merah sedapatnya dibangun bangunan besar.
Bukan kaitannya dengan retribusi, tapi bangunan besar otomatis akan
dibuat dengan konstruksi yang kuat dari guncangan gempa dan tsunami.
Ketika terjadi gempa dan tsunami, masyarakat di sekitarnya bisa lari ke
bangunan tersebut untuk menyelamatkan diri,” paparnya.
Harus Uji Publik
Secara terpisah, pengamat tata ruang dari
Universitas Bung Hatta (UBH) Padang, Eko Alvares mengatakan, ada empat
hal yang harus dipenuhi terlebih dulu sebelum melakukan pembangunan.
Pertama, harus jelas sejauh mana audit atau amdal lalu lintas.
Kedua, harus dilihat seberapa besar
bangkitan lalu lintas. Ketiga, sejauh mana pengaturan pintu masuk dan
keluar kendaraan karena bangunan berada di persimpangan. Keempat, harus
dilihat sejauh mana ketinggian bangunan dan hubungannya antara
fungsi yang satu dengan fungsi yang lain, apakah sudah bekerja dengan
baik atau tidak.
Menanggapi investasi Lippo Group, Eko tak
mau mengomentarinya, karena belum mengetahui secara detail seperti
apa pembangunan. “Saya belum lihat gambarnya (pembangunan Lippo Group,
red),” alasan Eko.
Eko mengatakan, dalam pembangunan tersebut
banyak variabel yang perlu diperhatikan. “Di negara maju, pembangunan
seperti itu dapat dilakukan setelah mendapat izin melalui sidang tata
kota terlebih dulu. Apakah itu sudah dilakukan,” tanya Eko.
Kemudian, pembangunan parkir empat lantai di basement,
perlu dikaji lebih dalam. “Kalau parkir empat lantai, tentu besar tarif
parkirnya. Pengunjung tentu akan memilih parkir di luar. Ujung-ujungnya
menimbulkan kemacetan juga seperti di Basko,” terangnya.
Selain itu, tambah Eko, juga perlu dilakukan uji publik sebelum pembangunannya diberi izin.
“Saya tidak pernah dapat gambar dan tidak
pernah ada uji publik terhadap gambar. Uji publik harus dilakukan
banyak tim yang melakukan itu sehingga keluar IMB-nya,” paparnya. (*)
[ Red/Administrator ]