Eko Alvares Z

Senin, 20 Mei 2013

Seperti Apa Lippo Mall Padang itu ?


Khatib Dijadikan Kawasan Bisnis
Dian: Itu Mengacu RTRW Padang
Padang Ekspres • Selasa, 14/05/2013 13:34 WIB • Adiyansyah Lubis • 575 klik
Sawahan, Padek—Pemko Padang menetapkan kawasan Jalan Khatib Sulaiman sebagai pusat perdagangan dan kese­ha­tan. Antara lain bidang per­ho­telan, jual beli kendaraan (showroom) dan rumah sakit.

Kebijakan itu seiring telah berdirinya sejumlah rumah sa­kit, sekolah, dan usaha per­da­gangan dan jasa di kawasan tersebut.

Berdasar Perda No 4/2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Padang, Jalan Khatib Sulaiman untuk kegiatan rumah sakit dan bisnis. “Di Khatib, kan bisa dilihat, ada RS Yayasan Jantung, SD Al Azhar, show room, dan usaha per­da­gangan dan jasa lainnya,” kata Kepala Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan (TRTB) dan Per­mu­kiman Padang, Dian Fakri usai rapat dengar pendapat di gedung DPRD Padang kemarin (13/5).

Tanggapan Dian itu seka­li­gus menjawab kritikan pe­ngu­saha Basrizal Koto (Basko) ter­kait pemberian perizinan ke­pa­da Lippo Group untuk mem­ba­ngun kawasan bisnis ter­padu, rumah sakit, mal, sekolah dan hotel bertaraf internasional di kawasan Khatib Sulaiman.

Dia tak menampik jika di masa Wali Kota Padang Zuiyen Rais, ada larangan membangun hotel di kawasan Khatib Su­lai­man karena memang RTRW-nya tidak memperbolehkan untuk itu. Namun seiring ber­jalannya waktu, RTRW itu beru­bah mengingat kondisi Padang rawan gempa dan tsunami.

Kawasan-kawasan pinggir pantai kini diperbolehkan salah satunya untuk pusat perda­ga­ngan dan bisnis. “Perda RTRW berubah setiap waktu. Pak Zui­yen Rais waktu menjadi Wako tidak salah melarang pem­ba­ngu­nan hotel di kawasan Khatib Sulaiman karena memang per­da­nya tidak mendukung seperti itu. Sedangkan di masanya Wali Kota Fauzi Bahar, ada perda yang mendukung untuk itu. Karena dulu memang tidak terungkap potensi tsunami di Padang ini,” tutur Dian.

Perda RTRW Padang ter­se­but, katanya juga lebih dia­rah­kan sebagai upaya mitigasi bencana.

“Membangun peru­ma­han di kawasan Bypass, se­da­ng­kan di kawasan tak jauh dari pinggir pantai diutamakan ba­ngu­nan besar, tujuannya untuk bumper tsu­nami. Untuk itu segala ma­cam kemudahan beri­n­vestasi kita berikan kepada sia­pa pun,” tegasnya.

Areal Parkir di Basement

Dian mengatakan, Khatib Sulaiman salah satu kawasan padat kendaraan. Karena itu, Pemko meminta Lippo Group membuat parkir di basement. “Sebelum memberikan izin, tentu kita juga memikirkan dampaknya, seperti kemacetan,” tutur Dian.

Karena itu, dia mengajak semua pihak berpikir positif dengan investasi dari Lippo Group tersebut. “Saya juga selalu mendorong kalau di zona merah sedapatnya dibangun bangunan besar. Bukan kaitannya dengan retribusi, tapi bangunan besar otomatis akan dibuat dengan konstruksi yang kuat dari gun­cangan gempa dan tsunami. Ketika terjadi gempa dan tsunami, masyarakat di sekitarnya bisa lari ke bangunan tersebut untuk menyelamatkan diri,” paparnya.

Harus Uji Publik

Secara terpisah, pengamat tata ruang dari Universitas Bung Hatta (UBH) Padang, Eko Alva­res mengatakan, ada empat hal yang harus dipenuhi terlebih dulu sebelum melakukan pem­ba­ngunan. Pertama, harus jelas sejauh mana audit atau amdal lalu lintas.

Kedua, harus dilihat sebe­rapa besar bangkitan lalu lintas. Ketiga, sejauh mana pengaturan pintu masuk dan keluar ken­daraan karena bangunan berada di persimpangan. Keempat, harus dilihat sejauh mana ke­ting­gian bangunan dan hu­bu­ngan­nya antara fungsi yang satu dengan fungsi yang lain, apakah sudah bekerja dengan baik atau tidak.

Menanggapi investasi Lippo Group, Eko tak mau me­ngo­mentarinya, karena belum me­nge­tahui secara detail seperti apa pembangunan. “Saya belum lihat gambarnya (pembangunan Lippo Group, red),” alasan Eko.

Eko mengatakan, dalam pembangunan tersebut banyak variabel yang perlu diperhatikan. “Di negara maju, pembangunan seperti itu dapat dilakukan setelah mendapat izin melalui sidang tata kota terlebih dulu. Apakah itu sudah dilakukan,” tanya Eko.

Kemudian, pembangunan parkir empat lantai di basement, perlu dikaji lebih dalam. “Kalau parkir empat lantai, tentu besar tarif parkirnya. Pengunjung tentu akan memilih parkir di luar. Ujung-ujungnya menim­bulkan kemacetan juga seperti di Basko,” terangnya.

Selain itu, tambah Eko, juga per­lu dilakukan uji publik sebe­lum pembangunannya diberi izin.

“Saya tidak pernah dapat gam­bar dan tidak pernah ada uji pub­lik terhadap gambar. Uji publik harus dilakukan banyak tim yang melakukan itu sehingga keluar IMB-nya,” paparnya. (*)
[ Red/Administrator ]

Tidak ada komentar: