Sebuah bangunan lama di Kota Padang yang rusak akibat gempa dan belum ada usaha perbaikan.
Menjemput Masa Lalu, Menanti Masa Depan
Empat bangunan yang menjadi objek utama dalam buku ini
merupakan tonggak sejarah perkembangan arsitektur dan sekaligus merupakan
capaian dari puncak-puncak berbudaya bagi masyarakat pendukungnya. Sumatera
Barat merupakan kawasan dengan kekayaan alam yang sangat indah, dan budaya yang
sangat beragam. Namun di balik karunia Tuhan yang sangat istimewa ini terdapat
berbagai ancaman bencana alam yang setiap saat dapat terjadi.
Gempa tahun 2007 akibat pergeseran patahan Semangko, yang
berpusat di kawasan Gunuang Rajo Kabupaten Tanah Datar, telah merusak banyak
bangunan yang terletak di kawasan pergunungan Bukit Barisan ini. Masjid Raya Rao-Rao
di Nagari Rao-Rao, Kabupaten Tanah Datar, serta Jam Gadang di Kota Bukittinggi
merupakan dua contoh dari kerusakan yang diakibatkan oleh gempa pada saat itu.
Sedangkan Masjid Lubuak Barek di Kabupaten Padang Pariaman dan Kapel Santo Leo
merupakan dua bangunan dari banyak bangunan yang rusak karena gempa 30
September 2009 yang berpusat di pantai Pantai Barat Sumatera. Dedikasi
penulisan buku ini adalah untuk menjelaskan kembali proses perencanaan dan
konservasi keempat bangunan tersebut yang rusak akibat gempa, sebagai usaha
untuk menjemput masa lalu dengan segala dinamikanya, sehingga menghadirkan masa
sekarang, serta menanti masa depan dengan merencanakan dan mempersiapkannya
agar bangunan tersebut bisa tetap bertahan dan lebih bermanfaat bagi masyarakat.
Masjid Raya Nagari Rao-rao merupakan salah satu masjid tua
dengan usia lebih dari satu abad, masih dimanfaatkan dan digunakan oleh
berbagai kegiatan oleh masyarakat. Memiliki bentuk arsitektur dengan perpaduan
arsitektur lokal dan arsitektur Islam, sehingga menghasilkan perpaduan atau
sintesis budaya dengan bentuk yang sangat harmonis. Masjid ini merupakan salah
satu bukti bahwa pada masa lalu di Ranah Minang
dinamika perkembangan ajaran Islam mendapatkan tempat yang utama bagi
kehidupan masyarakatnya. Sedangkan pada masa sekarang, tantangan terbesar
pembangunan masjid dalam mengakomodasi semangat pantang menyerah umat untuk
memakmurkan masjid adalah untuk tetap mempertahankan spirit dan bentuk masa
lalu, diantara godaan untuk merubah bentuk bangunan masjid menjadi beratap
kubah, sekedar menjadi ikon dan monumental, bergelimang kemewahan material
baru. Dalam konteks ini rehabilitasi Masjid Raya Rao-Rao menjadi sangat
istimewa dengan tetap mempertahankan bentuk-bentuk masa lalu, namun
menghadirkan teknologi baru agar lebih terawat dan lebih kokoh untuk masa
mendatang yang lebih panjang.
Jam Gadang di Bukittinggi dulunya merupakan lambang fajar
modernisasi abad ke-20, dengan mempertontonkan empat sisi penanda waktu yang
sangat langka di jaman itu, serta memperlihatkan kekuatan moderenisasi melalui
bangunan tower empat lantai yang juga tidak biasa pada masa lalu. Tower ini
juga kemudian menjadi landmark
kawasan karena posisi, bentuk dan ditempatkan di depan Pasar Serikat, yang
merupakan serikat masyarakat yang datang dari nagari-nagari di sekitarnya, untuk bersepakat untuk membentuk sebuah
tempat berkumpul. Jam Gadang kemudian juga menjadi saksi pasang surut Kota Bunkittinggi
yang pernah dicatat sebagai Ibu Kota Republik, dan mendapat julukan Parisj van Sumatera, serta sempat
mempunyai tiga wajah berbeda sesuai dengan semangat dan situasi jamannya.
Perbaikan Jam Gadang paska gempa tahun 2007 seperti membuka
kamus teknologi bangunan dan cara membangun masa lalu. Dimulai dengan usaha
mengetahui pondasi yang di pakai, dengan menggali kembali beberapa meter
persegi daerah sekitar pondasi, sesuai dengan kaidah ekskavasi bidang Arkeologi.
Demikian pula usaha untuk mengetahui sistem struktur yang dipakai melalui deteksi
dan pengupasan untuk mengetahui dimensi penulangan struktur, sehingga mampu
bertahan dengan empat gempa besar sejak gempa Padangpanjang tahun 1926.
Dilengkapi pula pemakaian scanner laser
yang didatangkan dari Balai Konservasi Borobudur untuk merekam dan mengukur
dimensi fisik Jam Gandang, serta
tantangan untuk perbaikan jam empat sisi buatan Jerman yang tidak dijumpai lagi
teknologinya saat ini.
Usaha lain perbaikan dan peningkatan kekuatan bangunan
adalah dengan mengurangi beban pada pelat lantai yang sempat di lapisi keramik,
perbaikan saluran air vertikal dan horizontal, mekanikal elektrikal, serta
memperbaiki konstruksi atap gonjong di puncaknya. Usaha lain adalah melindungi
Jam Gadang dari serbuan wisatawan, limpahan aktivitas perdagangan Pasar Atas,
serta beban lalu lintas yang semakin padat.
Masjid Lubuak Bareh di Kabupaten Padang Pariaman merupakan
salah satu dari ribuan masjid yang dibangun dan dirawat secara komunal, dan
dimanfaatkan bukan saja untuk kegiatan keagamaan, namun merupakan bagian dari
kegiatan budaya yang masih terus dilakukan sampai saat sekarang. Kerusakan
akibat gempa September 2009 pada bagian atap dan koridor di semua sisi luar bangunan
harus diperbaiki dengan hati-hati. Hal ini disebabkan oleh sistem struktur dan
detil bangunan yang tidak lagi lazim digunakan pada saat ini. Oleh karena itu
kolaborasi dan interaksi para ahli, pelaksana bangunan serta mandor dan tukang
lokal menjadi sangat dominan dalam proses rehabilitasi ini. Dengan demikian
rasa memiliki umat, detil dan logika struktur tetap terjaga.
Kapel Santo Leo di Kota Padang merupakan salah satu contoh
dari sedikit atau tidak sampai dengan hitungan jari, kapel dengan bentuk Gotik
yang sangat dominan. Proporsi dan detil bangunan ini yang sangat indah, serta
merupakan bagian dari sejarah umat Kristiani yang ada di Sumatera Barat. Kapel
ini berada di lingkungan kawasan yang bangunannya banyak rusak berat pada saat
gempa September 2009, sehingga banyak yang mengira akan di runtuhkan saja jika
kita melihat kerusakan yang sangat parah. Kolaborasi para ahli, donatur dan
panitia rehab-rekon bangunan-bangunan Keuskupan Padang memutuskan untuk
diperbaiki dan diperkuat saja. Teknik
perbaikan dan usaha perkuatan struktur, namun tetap berusaha mempertahankan
bentuk dan proporsi bangunan menjadi tema sentral pada bangunan ini.
Pengalaman dan cacatan membantu rehabilitasi ke-empat
bangunan di atas, bagi Badan Pelestarian Pusaka Indonesia merupakan pengalaman
yang sangat berharga, yang dapat rangkumannya dikelompokkan dalam beberapa tema
berikut ini. Pertama pentingnya kemitraan dalam skala lokal sampai
internasional, karena sangat terbatasnya pengetahuan, keahlian dan sumber
pendanaan. Kedua, penyempurnaan teknis konservasi harus terus dilaksanakan,
dimulai dari inventarisasi sampai dengan pelaksanaan dan perawatan. Tantangan
teknis konservasi ini akan semakin kompleks dan rumit karena kita dihadapkan
kepada rentang umur bangunan yang melampaui berbagai kemajuan ilmu, pengetahuan
dan teknologi. Ketiga, kekuatan kemitraan dan teknis konservasi yang baik akan
menjadi sangat tidak berarti jika tidak didorong oleh kebijakan dan peraturan
yang memadai. Keempat, kerusakan akibat bencana alam sangat tidak sebanding
jika dibandingkan oleh kerusakan oleh dahsyatnya ulah manusia melalui pembiaran
dan ketidakpedulian.
Eko Alvares Z, PUSAKA (Pusat Studi Konservasi Arsitektur,
Universitas Bung Hatta, Padang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar