Eko Alvares Z

Sabtu, 11 Mei 2013

Menjemput Masa Lalu, Menanti Masa Depan

 Sebuah bangunan lama di Kota Padang yang rusak akibat gempa dan belum ada usaha perbaikan.
Menjemput Masa Lalu, Menanti Masa Depan
Empat bangunan yang menjadi objek utama dalam buku ini merupakan tonggak sejarah perkembangan arsitektur dan sekaligus merupakan capaian dari puncak-puncak berbudaya bagi masyarakat pendukungnya. Sumatera Barat merupakan kawasan dengan kekayaan alam yang sangat indah, dan budaya yang sangat beragam. Namun di balik karunia Tuhan yang sangat istimewa ini terdapat berbagai ancaman bencana alam yang setiap saat dapat terjadi.
Gempa tahun 2007 akibat pergeseran patahan Semangko, yang berpusat di kawasan Gunuang Rajo Kabupaten Tanah Datar, telah merusak banyak bangunan yang terletak di kawasan pergunungan Bukit Barisan ini. Masjid Raya Rao-Rao di Nagari Rao-Rao, Kabupaten Tanah Datar, serta Jam Gadang di Kota Bukittinggi merupakan dua contoh dari kerusakan yang diakibatkan oleh gempa pada saat itu. Sedangkan Masjid Lubuak Barek di Kabupaten Padang Pariaman dan Kapel Santo Leo merupakan dua bangunan dari banyak bangunan yang rusak karena gempa 30 September 2009 yang berpusat di pantai Pantai Barat Sumatera. Dedikasi penulisan buku ini adalah untuk menjelaskan kembali proses perencanaan dan konservasi keempat bangunan tersebut yang rusak akibat gempa, sebagai usaha untuk menjemput masa lalu dengan segala dinamikanya, sehingga menghadirkan masa sekarang, serta menanti masa depan dengan merencanakan dan mempersiapkannya agar bangunan tersebut bisa tetap bertahan dan lebih bermanfaat bagi masyarakat.
Masjid Raya Nagari Rao-rao merupakan salah satu masjid tua dengan usia lebih dari satu abad, masih dimanfaatkan dan digunakan oleh berbagai kegiatan oleh masyarakat. Memiliki bentuk arsitektur dengan perpaduan arsitektur lokal dan arsitektur Islam, sehingga menghasilkan perpaduan atau sintesis budaya dengan bentuk yang sangat harmonis. Masjid ini merupakan salah satu bukti bahwa pada masa lalu di Ranah Minang  dinamika perkembangan ajaran Islam mendapatkan tempat yang utama bagi kehidupan masyarakatnya. Sedangkan pada masa sekarang, tantangan terbesar pembangunan masjid dalam mengakomodasi semangat pantang menyerah umat untuk memakmurkan masjid adalah untuk tetap mempertahankan spirit dan bentuk masa lalu, diantara godaan untuk merubah bentuk bangunan masjid menjadi beratap kubah, sekedar menjadi ikon dan monumental, bergelimang kemewahan material baru. Dalam konteks ini rehabilitasi Masjid Raya Rao-Rao menjadi sangat istimewa dengan tetap mempertahankan bentuk-bentuk masa lalu, namun menghadirkan teknologi baru agar lebih terawat dan lebih kokoh untuk masa mendatang yang lebih panjang.
Jam Gadang di Bukittinggi dulunya merupakan lambang fajar modernisasi abad ke-20, dengan mempertontonkan empat sisi penanda waktu yang sangat langka di jaman itu, serta memperlihatkan kekuatan moderenisasi melalui bangunan tower empat lantai yang juga tidak biasa pada masa lalu. Tower ini juga kemudian menjadi landmark kawasan karena posisi, bentuk dan ditempatkan di depan Pasar Serikat, yang merupakan serikat masyarakat yang datang dari nagari-nagari di sekitarnya, untuk bersepakat untuk membentuk sebuah tempat berkumpul. Jam Gadang kemudian juga menjadi saksi pasang surut Kota Bunkittinggi yang pernah dicatat sebagai Ibu Kota Republik, dan mendapat julukan Parisj van Sumatera, serta sempat mempunyai tiga wajah berbeda sesuai dengan semangat dan situasi jamannya.
Perbaikan Jam Gadang paska gempa tahun 2007 seperti membuka kamus teknologi bangunan dan cara membangun masa lalu. Dimulai dengan usaha mengetahui pondasi yang di pakai, dengan menggali kembali beberapa meter persegi daerah sekitar pondasi, sesuai dengan kaidah ekskavasi bidang Arkeologi. Demikian pula usaha untuk mengetahui sistem struktur yang dipakai melalui deteksi dan pengupasan untuk mengetahui dimensi penulangan struktur, sehingga mampu bertahan dengan empat gempa besar sejak gempa Padangpanjang tahun 1926. Dilengkapi pula pemakaian scanner laser yang didatangkan dari Balai Konservasi Borobudur untuk merekam dan mengukur dimensi fisik Jam Gandang,  serta tantangan untuk perbaikan jam empat sisi buatan Jerman yang tidak dijumpai lagi teknologinya saat ini.  
Usaha lain perbaikan dan peningkatan kekuatan bangunan adalah dengan mengurangi beban pada pelat lantai yang sempat di lapisi keramik, perbaikan saluran air vertikal dan horizontal, mekanikal elektrikal, serta memperbaiki konstruksi atap gonjong di puncaknya. Usaha lain adalah melindungi Jam Gadang dari serbuan wisatawan, limpahan aktivitas perdagangan Pasar Atas, serta beban lalu lintas yang semakin padat.
Masjid Lubuak Bareh di Kabupaten Padang Pariaman merupakan salah satu dari ribuan masjid yang dibangun dan dirawat secara komunal, dan dimanfaatkan bukan saja untuk kegiatan keagamaan, namun merupakan bagian dari kegiatan budaya yang masih terus dilakukan sampai saat sekarang. Kerusakan akibat gempa September 2009 pada bagian atap dan koridor di semua sisi luar bangunan harus diperbaiki dengan hati-hati. Hal ini disebabkan oleh sistem struktur dan detil bangunan yang tidak lagi lazim digunakan pada saat ini. Oleh karena itu kolaborasi dan interaksi para ahli, pelaksana bangunan serta mandor dan tukang lokal menjadi sangat dominan dalam proses rehabilitasi ini. Dengan demikian rasa memiliki umat, detil dan logika struktur tetap terjaga.
Kapel Santo Leo di Kota Padang merupakan salah satu contoh dari sedikit atau tidak sampai dengan hitungan jari, kapel dengan bentuk Gotik yang sangat dominan. Proporsi dan detil bangunan ini yang sangat indah, serta merupakan bagian dari sejarah umat Kristiani yang ada di Sumatera Barat. Kapel ini berada di lingkungan kawasan yang bangunannya banyak rusak berat pada saat gempa September 2009, sehingga banyak yang mengira akan di runtuhkan saja jika kita melihat kerusakan yang sangat parah. Kolaborasi para ahli, donatur dan panitia rehab-rekon bangunan-bangunan Keuskupan Padang memutuskan untuk diperbaiki dan diperkuat saja.  Teknik perbaikan dan usaha perkuatan struktur, namun tetap berusaha mempertahankan bentuk dan proporsi bangunan menjadi tema sentral pada bangunan ini.
Pengalaman dan cacatan membantu rehabilitasi ke-empat bangunan di atas, bagi Badan Pelestarian Pusaka Indonesia merupakan pengalaman yang sangat berharga, yang dapat rangkumannya dikelompokkan dalam beberapa tema berikut ini. Pertama pentingnya kemitraan dalam skala lokal sampai internasional, karena sangat terbatasnya pengetahuan, keahlian dan sumber pendanaan. Kedua, penyempurnaan teknis konservasi harus terus dilaksanakan, dimulai dari inventarisasi sampai dengan pelaksanaan dan perawatan. Tantangan teknis konservasi ini akan semakin kompleks dan rumit karena kita dihadapkan kepada rentang umur bangunan yang melampaui berbagai kemajuan ilmu, pengetahuan dan teknologi. Ketiga, kekuatan kemitraan dan teknis konservasi yang baik akan menjadi sangat tidak berarti jika tidak didorong oleh kebijakan dan peraturan yang memadai. Keempat, kerusakan akibat bencana alam sangat tidak sebanding jika dibandingkan oleh kerusakan oleh dahsyatnya ulah manusia melalui pembiaran dan ketidakpedulian.
Eko Alvares Z,  PUSAKA (Pusat Studi Konservasi Arsitektur, Universitas Bung Hatta, Padang)


Tidak ada komentar: