Eko Alvares Z

Rabu, 23 April 2014

Tunggak Tuo, Tiang Utama Rumah Gadang

Tunggak Tuo, Tiang Utama Rumah Gadang

Tunggak Tuo
Tunggak tuo adalah tiang utama rumah gadang. Tiang inilah yang didirikan terlebih dahulu sebelum struktur bangunan yang lain. (Foto: Arjuna)
RANAHBERITA- Dalam proses ‘batagak tunggak tuo’ rumah gadang di Nagari Sumpur, Kecamatan Batipuah, Kabupaten Tanah Datar, harus melalui prosesi adat. Penyerahan tanggungjawab pembangunan kepada tukang dihiasi dengan berbalas petatah petitih.
Setelah proses ‘maelo kayu dari rimbo’ dan mancacah selesai, rapat adat digelar. Minggu 20 April 2013, semua petinggi adat di kampung itu datang, termasuk ‘tukang tuo’ atau kepala tukang. Mereka hadir di medan nan bapaneh di sekitar lokasi bangunan mengenakan pakaian kebesaran adat.
Dalam kesempatan ini, juga hadir elemen pemerintahan kabupaten, Pusat Studi Konservasi Arsitektur Universitas Bung Hatta, Badan Pelestari Pusaka Indonesia dan masyarakat setempat.
Para petinggi kaum, mulai berpidato sebagai pembuka rapat. Pidato dalam bahasa Minang ‘saisuak’ itu terdengar bak pantuk bersajak ab-ab. Kemudian, pemilik rumah atau yang disebut ‘sipangka’, mulai memenanyakan kesiapan tukang untuk membangun rumah ke depannya.
Assalamulaikum Angku Datuak. Ujuang pasambahan pado Sutan. Adopun kamudian dari pado itu, kabasaran Allah Ta’ala, mako bacaritolah Datuak Suri Dirajo kapado cucu dan rakyatnyo. Karano bumi lah basentak naiak, lauik pun basentak turun, anak kamanakan lah batambah banyak, mako dibueklah rumah tampek kasanangan, dimano anak cucu sukoi. Mako dipanggialah baduo sakato, batigo sakato dan ampek sakato, mako dibaolah ka gunuang marapi mancari kayu nan elok nan sadang babuah labek, gadang nan bukan alang-alang. Mako dipukualah kayu nantun, dek tukan pandai mancari, mandanguanglah kayu nan basah batuah, dinamoi indak dinamoi, Allah ta’ala sajo nan tau. Mako dimulai manabang kayu, dek tukang pandai manabang, dengan bismillah kapak diayun,” begitu kutipan dalam pidato pembuka.
Bersilat lidah dimulai. Dari sipangka ke tukang tuo, lalu dilempar lagi ke pihak lain, diskusi itu berlangsung lebih kurang satu jam. Hingga akhirnya dapat diputuskan, bahwa sipangka memberi kepercayaan kepada tukang dan tukang siap untuk membangun.
“… Dipanggia sagalo tukang, tukang tarah lah manarah, tukang kabuang lah mangabuang, tukang paek lah mamaek, tukang galiek lah manggaliek, cukuiklah kasadonyo, mako didirikanlah rumah nantun, …”
Kumandang azan menggema, rapat selesai. Semua berdiri dan menuju ke lokasi tunggak tuo yang sudah dirangkai. Sebelum ditegakkan, tunggak tuo dan semua kayu yang akan digunakan dilumuri darah terlebih dahulu. Dua orang terlihat memegang ayam kampung jantan, lalu disembelih.
Satu orang kemudian mengaliri darahnya ke bahan kayu yang berada di sekitar lokasi. Usai ritual mendarahi, masyarakat yang dibantu mahasiswa arsitektur UBH mulai mengambil posisi. Sebahagian bersiap untuk menarik tali dan sebahagian lain siap untuk mengangkatnya.
Dalam hitungan menit, dengan tenaga puluhan orang, tunggak tuo berdiri. Para tukang lalu memberi penyanggah agar tidak rebah. Prosesi batagak tunggak tuo selesai. Pembangunan selanjutnya dikerjakan oleh tukang dan masyarakat sesuai ketersediaan bahan yang ada.
Masyarakat yang hadir waktu itu bubar dan makan siang bersama. Makanan sudah disiapkan oleh kaum bundo kanduang. Tentunya, dalam jamuan tersaji makanan tradisional Minang yang mendunia, rendang. (Arjuna/Ed1)

Tidak ada komentar: