Eko Alvares Z

Selasa, 20 Maret 2012

Kasus Gapura Kampung Cina

Pemko tak Perlu Ikut Campur, Kasus Gapura Seharusnya tak ke Pengadilan

Padang Ekspres • Selasa, 28/02/2012 11:53 WIB

Limaumanih, Padek—Kasus gapura di Pondok ternyata tidak hanya mengundang perhatian warga keturunan Tionghoa, melainkan warga Padang lainnya. Padang kota tua yang seharusnya menjadi potensi ekonomi Padang, malah diobok-obok oleh persoalan sepele.


Persoalan itu dibahas Pusat Studi Humaniora Fakultas Ilmu Budaya Sumbar dalam diskusi terbatas dengan tema “Resolusi Konflik soal Identitas Kultural: Kasus Gapura Pondok Padang”. Dalam diskusi tersimpul, kaum Tionghoa diminta untuk menyelesaikan persoalan. Sementara, Pemko diminta memberi jarak untuk kasus ini.


Edy Utama (networker) sebagai moderator, mengeliminir anggapan adanya “aktor” di balik acara ini. Diadakannya diskusi di Gedung E Unand, untuk menunjukkan netralitas. Diskusi tidak hanya dihadiri akademisi, tetapi juga perwakilan kedua himpunan yang sedang dilanda masalah, Himpunan Bersatu Teguh (HBT) dan Himpunan Tjinta Teman (HTT).


“Begitu juga dengan pembicaranya. Andrinof Chaniago sudah saya tawari untuk jadi wali kota, tapi ia menolak. Jadi, Andrinof tidak mewakili siapa-siapa kecuali dirinya,” ujar Edy.


Selain Andrinof, pengamat kebijakan publik dari UI itu, hadir Dr Erniwati (pakar kaum Tionghoa dari UNP), Zaiyardam Zubir (dosen sejarah Unand), Eko Alvarez (ahli tata kota dari UBH). Sedangkan, Budiman Sudjatmiko (anggota DPR RI) yang juga diundang, tidak berkesempatan datang.


Diskusi dibagi dua. Paginya penjelasan panelis, siang FGD (focus Grup discussion). Pada sesi pagi, Erniwati menjelaskan sejarah kaum Tionghoa dengan orang Minang dalam bidang ekonomi. “Keterkaitan yang erat. Tionghoa mengurus impor, pedagang Minang mengurus domestik,” terangnya.


Andrinof menekankan filosofi memberikan izin untuk membangun. Selama tidak ada masalah dalam perizinan, tidak ada yang perlu dipertengkarkan. “Sejauh ini saya menilai, dari kasus tersebut tidak ada merugikan orang lain. Jika izin mendirikan bangunan yang dipersoalkan, hingga sekarang ini saya masih meragukan keabsahan izin-izin yang dikeluarkan pemerintah terhadap bangunan yang ada sekarang. Sebab, kebanyakan izin tersebut baru dikeluarkan setelah bangunan berdiri. Apalagi ini (kasus gapura), hanyalah kasus kecil,” ulasnya.


Ia malah melihat Kampung Pondok sebagai aset sosial dan modal. China Town dilihatnya belum tertata sebagai wisata kota tua. “Bagaimana kita bisa menerima harga jagung termahal di dunia di jembatan Siti Nurbaya,” ujarnya.


Sementara Zayyardam dalam pandangannya merasa heran dengan ikut sertanya Pemko (dalam hal ini Wali Kota) dalam urusan ini. “Pemimpin kita tak punya imajinasi,” katanya.


Eko Alvarez yang datang telat, menyuguhkan slide Padang lama beserta perubahan yang menyertainya. Tanpa disadari, banyak simbol yang hilang di sekitar kita. “Yang perlu kita ketahui, apa pentingnya simbol-simbol baru itu dibuat,” tanyanya.


Dia juga menyinggung gerbang gapura yang rupanya dulu sebuah pasar. Tapi, berdirinya gerbang tidak lagi bisa diketahui mana yang bagian depan atau belakang pasar.


Saat sesi pertanyaan, terungkap bahwa kasus gapura hanyalah akumulasi dari tiga persoalan besar sebelumnya. Termasuk, sesaat usai gempa. Warga Tionghoa merasa didiskriminasi dengan lambatnya bantuan masuk ke Kampung Pondok. Lalu, ada kasus pemukulan yang berujung pada pengadilan yang kemudian juga lenyap di tengah jalan.


M Taufiq dari IAIN Imam Bonjol melihat pangkal persoalan dari kebiasaan warga Tionghoa yang selalu dekat dengan kekuasaan. Ia mencurigai salah satu himpunan dekat dengan kekuasaan hari ini. Kekuasaan itu digunakan untuk menekan himpunan lain. “Sekarang, sandal orang HTT yang tertinggal di tempat HBT pun akan dipermasalahkan,” katanya.


“Malu Kami”
Begitu mendapat kesempatan bicara di FGD, Ridwan (perwakilan dari HBT) merasa malu, soal gapura ini sudah sampai sejauh ini. “Malu kami! Padahal, antara anggota HBT dan HTT tidak ada masalah. Hanya segelintir oknum pengurus,” katanya.


Penyelesaian di antara kedua himpunan bukan tidak dilakukan. Ridwan sendiri mengaku sudah mencoba mengambil inisiatif untuk mencari kedua twako himpunan. Tapi, tetap kata sepakat belum bisa ditemukan.


Albert Hendra Lukman, Bendahara HTT, mengakui ada rivalitas antara kedua himpunan. Tapi, masih dianggapnya dalam rivalitas positif. Hanya berlaku dalam bidang kesenian. “Kami sering ingin memperlihatkan persaingan dalam barongsai,” katanya.


Dulu, lanjutnya, tidak ada pergesekan seperti hari ini. Sebab, Pemko memang bertindak sebagai pengayom. “Tapi, pemimpin hari ini malah menggunakan salah satu dari kami untuk menekan yang lain,” katanya.


Tidak itu saja, pihak ketiga (yang bukan Pemko) sudah ikut campur dalam urusan ini. Ia menyebut partai politik, ormas dan individu yang ingin tetap kedua himpunan bertikai terlibat dalam persoalan ini. Ketika Edi Indrizal, dosen FISIP Unand, mendesak apa dan siapa persisnya yang ikut dalam kekeruhan itu, Albert enggan menyebutkannya.


Pertemuan merekomendasi agar persoalan kedua himpunan menyelesaikan persoalan dengan “adat” Tionghoa. Ini disepakati oleh perwakilan kedua himpunan yang hadir pada saat itu. Kemudian, forum meminta Pemko memberi ruang agar kedua himpunan bisa menyelesaikan persoalan internal mereka.


Erniwati juga meminta kedua himpunan bisa mendudukkan kedua twako dalam satu meja. “Agar para twako HBT dan HTT mampu duduk bersama dan menyatukan kata agar hal ini tidak lagi menjadi sebuah permasalahan bagi wali kota,” tukasnya.


Sebagaimana diberitakan, polemik gapura Hok Tek Tong ini semakin panas karena Wali Kota Padang Fauzi Bahar memerintahkan untuk membongkar gapura itu. Padahal, pembangunan gapura itu tak terlepas dari keinginan warga sekitar gapura untuk mengenang kembali keberadaan gang Hok Tek Tong sebagai salah satu pusat perdagangan dan melestarikan peninggalan budaya. (mg17)

Tidak ada komentar: