Eko Alvares Z

Minggu, 22 Juni 2008

Berjalan Kali di Kota Lama Padang

BERJALAN KAKI DI KOTA LAMA PADANG
Pesona yang memudar dari sebuah kota jaman kolonial.

By ; Anoname

Sama dengan kebanyakan kota Nusantara, inti historis Kota Padang terletak di tepi seberang sungai, yang dulu digunakan sebagai jalur lalu-lintas ke pedalaman maupun sebagai pelabuhan buat komoditi-komoditi yang dibawa dari mulut sungai itu. Berkat pendirian dan perluasan Kota Padang pada abad-abad yang lalu di tepi-tepi sungainya yang bernama Batang Arau – telah berubah dari sebuah delta yang meliuk ke rupa yang kita kenali pada masa kini, bagian yang sekarang dinamakan Kota Lama telah tumbuh dekat benteng dan gudang-gudang kompeni Belanda yang didirikan disini dan disekitar permukiman-permukiman sadagar India dan Cina, yang semenjak bagian kedua abad ke 18 menjadi bagian kota tersendiri.

Rentetan dalam bagian-bagian tersebut yang pada hari ini masih terlihat dalam nama-nama jalan dan pembagian etnis adalah suatu warisan dari jaman kolonial. Pada kebanyakan kota Nusantara yang telah berada di bawah pemerintahan Belanda kelompok-kelompok etnis diberikan permukiman masing-masing yang selanjutnya dikepalai oleh orang-orang terkemuka dari masyarakatnya untuk mewakili para penghuni terhadap pemerintah Hindia Belanda. Dengan cara yang demikian kelompok-kelompok etnis tersebut dapat diperintah “sesuai dengan adat istiadat mereka masing-masing, artinya jauh lebih gampang manjajah masyarakat dan jika perlu memainkannya.

Pada tahun-tahun 1840, 1861 dan lagi 1897 kebakaran-kebakaran yang hebat telah menghapuskan bagian terbesar dari kota Padang, sehingga kebanyakan dari rumah-rumah tua yang masih terdapat pada masa kini baru didirikan pada akhir abad yang lalu. Di tepi sungai tumbuh gedung-gedung pemerintah Kolonial dan gudang-gudang perusahaan perdagangan yang dimiliki oleh Eropah dan Cina; disekitar pasar Tanah Kongsi sedikit kehulu sungai timbul bagian yang sekarang dinamakan Kampung Cina, dan selanjutnya didirikan Kampung Keling, bagian kota yang dihuni oleh pendatang-pendatang dari India. Pas disamping Kampung Keling itu dulu bermukim saudagar-saudagar dari Arabia dan Persia, ke hulu lagi berdiam orang yang berasal dari Nias dan pedagang Melayu dan Bugis. Baru di belakang ini terdapat rumah-rumah penduduk aslinya, yaitu orang Minangkabau.

Perjalanan pesiar kita mengelilingi kota lama akan membawa kita ke beberapa bagian daerah-daerah kota tersebut; berkat topografi kota lama tidak mudah melewati bagian-bagiannya satu demi satu, maka perlu beberapa ekskurs dan pembeberan. Sebagai pedoman dipinggir teksnya terdapat nomor-nomor yang biasa disesuaikan dengan peta kota yang terla,pir.

Pada masa kini begian terbesar dari masyarakat kota lama ini berasal dari bangsa Cina, dan sejarah dan cerita-cerita mereka akan mendampingi kita sebagai suatu benang-merah, jadi kita sebaiknya mulai dari pusat Kampung Cina itu, yaitu kuil yang terdapat di Jl. Klenteng.

Dalam rupanya yang terlihat sekarang ini, klenteng See Hin Kiong itu dibangun pada tahun 1861 diatas lokasi suatu tempat sebahyang agama Taoisme yang hancur oleh kebakaran. Yang mendirikannya ialah seorang pedagang kaya Cina yang bernama Lie Ma Saay diantara tahun 1860-84 pertamanya dengan gelar Kapitan dan selanjutnya sebagai Mayoor der Chinezen mewakili penduduk Padang yang berasal dari Cina terhadap pemerintah Hindia Belanda. Sampai sekarang ini dia masih terkenal sebagai salah satu orang terkemuka dalam sejarah penduduk Cina.
Sebagian besar dari anak-cucunya masih tinggal di Padang dan di kota-kota Indonesia yang lain – sewaktu Anda keluar dari klenteng nanti, Anda dapat melihat di sebelah kiri gedung himpunan keluarga Lie itu di ujung Jln Klenteng.

Bagian paling besar dari perlengkapan asliya klenteng ini didatangkan dari negeri Cina oleh anak-anak Lie Ma Saay tersebut, diantaranya juga patung-patung dan arca-arca para dewa-dewi dan orang kudus yang akan Anda lihat didalamnya. Pembangunan klenteng dikepalai oleh seorang arsitek dari Cina sendiri, dan sebagian dari tukang-tukang yang mengerjakan ukiran-ukiran dan sebagainya didatangkan dari sana pula. Di dalam Anda akan melihat di sekitar pertengahan dinding sebelah kanan sebuah dokumen berhuruf Cina yang menerangkan sejarah pendirian klenteng ini.

Kebakaran yang terjadi pada tahun 1897 itu telah merusak-beratkan klenteng ini lagi, sehingga sebagian bear perlu direhab ulang. Sebuah dokumen yang berhadapan dengan dokumen tadi di sebelah kiri dipasang ketika pemugaran tersebut diselesaikan. Walaupun begitu, di dinding-dinding bagian belakangnya masih terlihat sisa-sisa dari lukisan aslinya yang kehitam-hitaman dari asap api dan sudah hampir tak lagi bisa dicerna.

Tempat pendirian klenteng ini mengandung cerita tersendiri. Kabarnya bahwa dari salah satu blok di dalam atap ruangan pertamanha dulu menetes air ke bawah, dan disampaikan pula , bahwa di halaman depan pernah terdapat sebauh mata air, yang memiliki daya pengobatan. Pada masanya kuil ini dibangun, ia diarahkan ke sungai Batang Arau dan sebuah mata air disisi gunung di tepi sebelahnya. Akan tetapi ketika pada tahun 1895 seorang yang bernama Gho Cong mulai mendirikan gedung besar yang terlihat di ujung jalan itu, pemandangan tersebut ditutupi oleh sudut kanan gedung baru itu – dua keluarga Lie dan Gho telah lama bersaing erat dalam perdagangan, dan perselisihan itu mungkinlah salah satu alasan pemilihan tempat pendirian rumah tersebut. Pemandangan ke air yang sangat perlu itu telah diganti dengan sebuah kolam di halaman depan, tetapi di khabarkan bahwa pada waktu orang menaikan sebuah bola batu yang besar sebagai perhiasan diatas bubungan gedung baru itu, mata air yang di kelenteng telah mengering pula. Peristiwa itu menghangat pertentangan di antara dua keluarga tersebut, barulah keruntuhan perusahaan-perusahaan kedua keluarga itu dan pindahnya keluarga Gho ke Jawa menghentikan perselisihan mereka.

Sampai hari ini dikisahkan, bahwa seorang saudagar besar berbangsa Cina yang bernama Sam Po Kong yang bergelar Tay Djien (suatu gelar pangkat tinggi) tidak sempat mendarat di Padang, sebab kelentengnya tidak terlihat dari olehnya dari sungai dan oleh karena itu kebahagiaan orang Cina yang katanyanya dapat dijaminkan dengan keberadaaan di Padang, yaitu sukses dalam usaha-usaha mereka dibawanya ke Semarang di Jawa. Suatu cerita yang lain menerangkan, bahwa Sam Po Kong berpendapat Sungai Batang Arau sendiri tidak cocok untuk mendirikan perusahaan ditepinya. Saat air pasang dan surut berubah, arah aliran airnya berubah pula, maka dengan demikian nasib orang yang menghuni di pinggirnya bisa berubah juga. Katanya inilah alasan, bahwa jarang ada keluarga Cina yang dapat menjaga dan menahankan kekayaan lebih dari satu generasi saja – hal ini sekurang-kurangnya benar buat kebanyakan pemilik gendung Si Gho tersebut setelah dijualnya. Sekarang ini seorang pemilik baru gedung itu merencanakan mengganti sekurang-kurangnya tangga di sebelah dengan sebuah tangga baru di belakang gedung alhasil sebagian dari pemandangan ke sungai itu dapat dibuka lagi; atas permintaan-permintaan masyarakat Cina bola besar diatas bubungan sudah pada tahun 30-an diturunkan dan dibuang.

Kita sekarang berada di Jl. Batang Arau, yang dulu merupakan jalan promenade dan jalan pelabuhan. Sebelum terbukanya pelabuhan Teluk Bayur (1892) jalan ini tempat penyandar perahu dan kapal layar kecil maupun tongkang-tongkang yang mengantarkan muatan ke kapal samudera yang berlabuh di belakang Pulau Pisang Gadang, sehingga disinilah didirikan gudang-gudang dan perkantoran perusahaan-perusahaan Eropah dan Cina. Sampai sekarang kebanyakan gedung-gedung ini masih digunakan sebagai gudang dan harum kulit manis Padang adalah salah satu pelabuhan ekspor terpenting komoditi itu masih keluar gundag-gudang itu.

Rumah di depan gedung Padangsche Spaarbank (no. 22-24) adalah sebuah contoh baik akan arsitektur kolonial. Beberapa rumah dan gudang yang bersambung didirikan cara melingkari sebuah halaman dan dengan ini merupakan suatu unit tertutup. Di lantai bawah terdapat gudang-gudang barang, sedangkan di dalam lantai atas kantor-kantor ditempatkan; balkon yang mengelilingi kedua lantai itu memungkinkan, bahwa kamar-kamar atas dapat dimasuki dari luar lewat pintu bersayap dua yang besar. Pintu-pintu itu sekaligus berguna sebagai jendela dan berkat perlindungan dari atap dapat dibiarkan terbuka pula bila ada hujan. Seadainya pintunya tertutup, sirkulai udara dimungkinkan oleh jendela udara di atas kosen pintu yang pada bangunan induk ditutupi dengan kisi-kisi besi yang dihias-hias. Gedung ini sampai tahun 1958 adalah kantor pusat dari perusahaan Veth, sebuah agentur perniagaan Belanda.

Sepanjang jalan Batang Arau ke arah muara sungai terletak beberapa gedung zaman Belanda lainnya. Kebanyakan dari gedung-gedung itu dulunya adalah kantor dan gudang perusahaan Eropah yang bekerja di Padang, tetapi juga terdapat bekas gedung pemerintahan kolonial, gedung bank dan perkantoran lain – gedung Bang Dagang Negara (no 42), misalnya sebelum perang dunia kedua dipakai oleh Eskonmto Bank dari Belanda, dan diantaranya terletak rumah/tempat tinggal orang pribumi. Sebuah gudang khas Belanda memperlihatkan kesisi jalan sebuah fasade Klassizisme dan bubungan duberikan sebuah atap tambahan yang kecil yang berguna sebagai ventilasi dan merupakan suatu bagian fasade yang spesifik.

Dua contoh yang baik adalah gedung di samping kiri dan kanan Bank Dagang Negara tadi, no. 40 dan 44. Rumah no. 44 dulu kantor pelabuhan, no.40 sebuah gudang dari Perusahaan Borsumij, seperti Veth salah satu daru ‘si lima yang besar’. Lima perusahaan itu sampai tahun 1958 saat Soekarno mengambil alih milik-milik orang Eropah di Indoneisa – telah membagi-bagi pemasaran national Indoneisa di antara mereka.
Yang menyolok mata itulah beberapa perhiasan kecil berbentuk ombak yang terletak di sudut-sudut dan di bubungan, walaupun pada kedua rumah itu hampir serupa, perhiasan ini begitu jauh berbeda dari rupa fasade klasik yang dikelililngi oleh gedung-gedung kantor dan gudang pemerintahan dan militer. Gedung segi empat yang besar di sebelah jalan di bangun pada tahun 20-an abad ini dan digunakan sebagai kantor Javabank – kesamaan dengan gedung bank Eskomto tadi tetap terlihat. Kebanyakan dari gedung yang dulu terdapat di sini telah diganti dengan rumah-rumah baru, dan dari gudang-gudang dan kantor-kantor tua yang terletak ke arah hilir sungai hanya sedikit sekali yang masih berdiri pada masa kini.

Maka kembalilah kita ke gedung bekas Padangsche Spaarbank, jl Batang Arau no 33 tadi. Sedang memasuki lantai dasarnya dimana sekarang sebuah cafe ditempatkan, Anda akan melihat sebuah jendela berwarna-warni, yang menggambarkan dengan gaya art-deco yang sangat indah sebuah kembang terbuka. Diatas pintu-pintu lantai kedua maupun diatas pintu masuk lantai bawah yang lain terdapat jendela yang mirip – sama halnya dengan beberapa rumah lainnya di Padang yang dibangun dan atau dihuni oleh orang Barat dulu.

Banyak dari ciri konstruksi rumah no. 33 ini merupakan teknologi high-tech pada awal abad ini. Misalnya, lantai dua dibangun diatas sebuah konstruksi dari besi yang agak bersamaan dengan cara mengkonstruksikan lantai kayu yang terpakai dalam rumah-rumah yang lain, dan bidang-bidang di antara balok-balok besi tidak ditutupi dengan papan-papan kayu, tetapi dengan semen yang terpasang secara berkubah. Mungkin sekali ada rencana menyimpan barang-barang dagangan yang berat di atas lantai dua tersebu. Rumah ini kebetulan sudah terjual sebelum Tuan Gho sempat memakai sebagai gudang dan kantor. Selain dari pada ruangan kantor dan tresor yang dipasang selanjutnya (dilantai dasar Anda masih dapat melihat pintu tresor yang tebalnya 30 cm disamping meja bar kini) dan sebuah ruangan di bagian muka lantai kedua yang memungkinkan dimaksudkan sebagai perkantoran, sebelum perehaban tiada pembagian dengan dinding didalam gedung ini. Terhadap beberapa pemecahan soal-soal teknis yang dipertimbangkan dengan baik dan apalagi jendela-jendela yang ada pada masa itu masih cukup bersifat avantgarde dan mengesankan sekali dari segi seni-rupanya kita dapat menyangka, bahwa arsitek gedung ini tampaknya seorang yang canggih pada masanya dan sempat mengilhamkan aliran-aliran modern dalam kebudayaan Eropa dari Padang yang begitu berkejauhan itu.

Kalau Anda keluar dari rumah ini mengikuti jalan Batang Arau ke kanan, disebelah kiri Anda akan melihat kantor pusat perusahaan Cipta Niaga (no. 23), dahulu terpakai oleh sebuah perusahaan eksport-import dari Swiss dan selanjutnya kantor perusahaan Haremsen-Verbij dari Belanda. Meski kelihatan dari luar tidak menarik perhatian di dalam ruang tangga Anda bisa menemui tiga jendela art-deco indah lagi yang menggambarkan sebuah motif yang jelaslah memperingatkan teladan-teladan Eropah dari awal abad ini, cara menyususn tegel-tegel dari lantai pun dapat disaksikan dalam ruang-ruang tangga di Amsterdam, Berlin atau Paris. Perusahaan-perusahaan Eropah dulu cukup kaya dan merka sanggup mendatangkan jendela dan tegel yang demikian dari Jawa ataupun Eropah.

Kebayakan orang Cina yang berdiam di Padang juga pedagang dan seperti yang diceritakan diatas, mereka seringkali agar bersukses juga. Jika Anda memandang keluar dari jedela-jendela di dalam ruang tangga gedung Cipta Niaga tadi keseberang jalan, Anda dapat melihat di atas bubungan fasade sebaris tulisan NV Handel Maatschappij Hong Jang Hoo; dibangun 1912, rumah itu memperlihatkan sebuah fasade yang hampir serupa dengan fasade gedung keluarga Gho yang selanjutnya menjadi Padangsche Spaarbank. Orang-orang Cina kaya bangga, bahwa mereka mampu hidup bergaya Eropa. Misalnya, sudah pada tahun 1896 seorang pegunjung Padang dari Belanda memberi Lie Ma Saaij yang kita sebutkan diatas sebagai gentlement Cina, yang suka dan bisa main catur dengan baik, yang sering mengadakan pesta yang bergaya Eropa dan termasuk acara-acara paling meriah dalam kehidupan orang di Padang – dan mempunyai seorang anak lelaki yang tidak kurang pintarnya menyibukan diri dengan fotografi, suatu hobi yang pada masa itu sangat baru dan aneh buat kebanyakan orang Eropa sendiripun.
Pemerintah Beladan tidak begitu rela menyetujui atas penilaian itu. Dalam laporan tentang seorang anak lelaki Lie Ma Saaij yang mengikuti ayahnya menjadi penghulu orang Cina di Padang disebutkan, bahwa ialah “bertingkah laku dengan sopan” dan “sangat kaya” tetapi “tidak begitu pintar, malas, intrigan” dan “tidak pantas dipercaya”. Ia senang kalau dipuji, dan untunglah walaupun keluarganya memegang monopoli penjualan candu sampai laranngnya obat bius itu sendiri ternyata tidak sampai merokok candu.
Pas disamping gedung kantor Cipta Niaga Anda dapat melihat sebaris rumah kombinasi tinggal/perusahaan besar yang sangat khas di kota lama ini. Dilantai dasar terletak ruangan gudang yang luas, dan sebuah tangga yang terpasang di samping luar naik ke suatu balkon yang sering ditutupi dengan jendela dari mana orang dapat memasuki kantor-kantor dan ruang-ruang tinggal di lantai atasnya. Konstruksi pembalokannya yag menahan lantai kedua itu mirip di hampir rumah demikian – biasanya beberapa tiang kuat memikul balok-balok induk dari kayu besi yang berat dan besar yang membenteng diatas keseluruhan lebar atau panjangnya rumah , dan diatasnya terpasang balok-balok anak dan lantai kayunya. Didalam beberapa rumah bagian-bagian dari konstruksi ini diganti dengan balok besi atau pilar dari batu bata, sedangkan balok-balok anak maupun papan lantai atasnya selalu dibuat dari kayu. Seringkali didalam bahagian belakang rumah terdapat sebuah halaman terbuka ke atas yang dilingkari oleh sebuah balkon dari mana orang dapat memasuki kamar-kamar tinggal yang tersusun sekelilingnya. Sekarang ini kebanyakan dari halaman-halaman itu sudah tertutup oleh bangunan-bangunan yang baru.
Para pemilik rumah yang begitu dahulunya biasanya pedagang-pedagang Cina dan ruangan di dalam sering digunakan sebagai kantor maupun tempat tinggal para pegawai dan keluarganya sendiri. Beberapa gedung terpakai perusahaan Eropahpun, minsalnya dibawah papan lambang Cipta Niaga pad rumah nomor 21 terdapat tulisan Societa Commisionaria di Isportazione di Importazione incorporated in Switzerland yang masih dapat dicerna. Didalam lantai atas rumah disampingnya, no 19, masih terdapat hampir semua perlengkapan perkantoran yang sudah bertahun-tahun tak terpakai lagi. Bertanyalah diruangan gudang di bawahnya akan kunci untuk tangganya, dan diminta agar khususnya dua lemari besi berhias-hiasn itu diperlihatkan kepada Anda. Dalam rak-rak sampel-sampel komoditi dari tahun 1950an ditemui, dan beberapa meja tulis dengan tempat-tempat penyimpanan aket, botol-botol tinta dan pelancip potlotnya kelihatan seperti baru saja ditinggalkan.

Setelah jalan kita menyeberangi sebatang kali kecil ciri-ciri bangunan-bangunan disampingnya akan berubah. Buakn lagi gudang-gudang yang dibangun dari batu, melainkan rumah-rumah kayu bergaya melayu yang didirikan diatas tiang-tiang dapat Anda lihat disebelah kanan. Sampai akhir abad yang lalu disini terdapat sebatang sungai Batang Arau yang baru ditutupi ketika rel kereta apai dan setasuinnya di bangun. Oleh karena itu stasiun kereta api yang sudah lama ditinggalkan dinamakan Stasiun Pulau Air, ruangan stasiun ini , gudang-gudangnya dan rel-rel serta wesel-weselnya maupun pengisi air buat lok-lok stom masih ada dan pada hari ini digunakan sebagai tempat pertemuan penduduk disekitar di mana pada hari Sabtu dan Minggu pertandingan layang-layang diadakan. Sebagian dari bangunan stasiun sekarang di digunakan sebagai kantor ekspedisi, dan sampai hari ini belum ada perubahan yang mendalam, loket-loket penjualan karcis, tanda-tanda dari jaman Belanda dan papan lambang stasiun masih terlihat didalamnya. Pas dibuka pintu masuk Anda dapat melihat sebuah kamar kayu kecil dari jaman Belanda di sebelah jalan ( no.44), rumah itu termasuk perumahan yang disiapkan buat para pegawai perusahaan kereta api, dan ciri-ciri konstruksinya mewakili dengan baik cara pembangunan dijamannya.

Sekarang kita berada di suatu bagian kota yang sampai pertengahan abad ini dihuni oleh anak-cucu imigran-imigran dari India, yang oleh sebab itu dinamakan Kampung Keling. Menurut tradisi setempat, orang-orang India pertama yang daatang ke Padang ialah tiga orang lelaki yang bersaudara bersama dua orang kawan mereka yang berasal dari sebuah kampung dekat Pondicherry, suatu kota dipesisir timur India Selatan. Mereka sekitar pada akhir abad yang ke 18 menetap di Padang sebagai sudagar, dan disini menikah dengan wanita Nias, Minangkabau dan Melayu. Lambat laun saudagar-saudagar dan pelaut-pelaut India yang lain dari pelbagai daerah di India Selatan merasa tertarik dengan oleh kegiatan perdagangan mereka, dan ikut pindah ke Padang pula.

Dalam arsip-arsip Belanda tercatat bahwa pada tahun 1828 seorang Belanda bernama Van de berg yang sudah lama tinggal di Padang membuka suatu kebun besar di daerah Pauh, dimana terutama orang-orang yang dipanggil dari Madras dan Pondicherry dipekerjakannya. Jumlah pendatang begitu banyak, bahwa sudah pada tahun 1833 suatu pasukan Klingaleezen dan Sipahis (yang terakhir ini adalah suatu suku India, yang sering bekerja sebagai tentara sewaan buat Pemerintah Kolonial Inggris) di bawah pimpinan seorang Letnan Klas II dapat didirikan guna perlindungan bagian kota yang dihuni mereka. Mulai dengan pertengahan abad yang laluorang Indialah yang memegang sebagian besar dari perdagangan kain dan sarung palaikat, hasil bumi dan lain-lain. Akan tetapi juga terdapat pedagang dan pengusaha kecil seperti tukang-tukang kaleng atau tukang yang membuat alat-alat lain dari seng. Pada perjalanan Anda di jalan Batipuh Anda masih dapat menyaksikan beberapa jenis hasil bumi yang dikeringkan dipinggir jalan dan beberapa bengkel kecil yang masih bekerja.
Berlawanan dengan orang-orang Cina imigran-imigran dari India ini telah beradaptasi baik dengan adat istiadat tetangga mereka yaitu orang Melayu dan Minangkabau. Misalnya, hampir semua upacara pernikahan yang dilakukan orang India pada masa kini mengikuti pola adat Minangkabau yang bersifat matrilinial, sedangkan dalam organisasi sosial masih banyak tatanan bilateral (artinya mengikuti garis lelaki maupun perempuan) yang dibawa dari India dipertahankan. Bahkan peristilahan kekerabatan hampir seluruhnya berasal dari bahasa-bahasa India. Orang yang sudah agak lanjut usia sering kali pula masih menggunakan suatu bahasa pidgin yang mencampurkan elemen-elemen bahasa Urdu dan Tamil, dua bahasa India dengan bahasa Melayu dan bahasa Minangkabau.
Jika Anda mengikuti jalan Batipuh ini ke arah barat, maka sebelah kiri Anda akan melihat suatu mesjid yang sangat menonjol. Dalam arsitektur mesjid itu banyak motif yang berkesamaan dengan rumah xxx tadi terdapat lagi – terutama perhiasan-perhiasan di atas pilar-pilar memperigatkan teladan mesjid-mesjid di Arabia dan India. Tidak mungkin lagi menjelaskan , apakah mesjid ini tertua di Padang. Katanya, dalam mesjid Muhamadan dulu terdapat sebuah balok yang ditulisi dengan tanggal pasangannya, tetapi dengan menjalani perubahan-perubahan pada tahun-tahun yangsilam balok itu sudah tidak ada lagi.
Tentang pendirian mesjid ini diceriterakan, bahwa disekitar awal abad yang lalu salah satu orang penduduk Kampung Keling ini berkebiasaan memancing di sungai Batang Arau, dan pada saat-saat sembahyang dia memenuhi kewajiban pas pada tempat mesjid ini. Terkhir dia membangun suatu villa kecil guna melindungi dirinya dari kesusahan cuaca dan sementara Kampung Keling membesar, villa itu dibangun menjadi suatu mesjid.
Biar begitu, yang dengan tetap masih diketahui adalah bahwa saudagar-saudagar dan pelaut-pelaut yang datang dari India dan berlabuh dengan kapal mereka di Sungai Batang Arau menggunakan tempat mesjid ini sebagai tempat sembahyang mereka. Saat mesjid ini direhab dari dalam, banyak pecahan keramik didapatkan dalam tanah di bawah bagian-bagian belakangnya. Tepi sungai Batang Arau dulu sampai ke belakang rumah-rumah sebelah kiri Jalan Batipuh dan sebagian dari jalan ini digunakan sebagai pasar dan pelabuhan kapal-kapal saudagar India.
Data-data sejarah yang pasti baru kita dapatkan berkaitan dengan seorang yang bernama Muna Kadar. Sebagai seorang pedagang kain yang kaya pada awal abad ini, dia menyumbangkan sejumlah uang yang dipergunakan untuk memperbaiki dan merehab Mesjid Muhamadan yang pada saat itu sudah cukup tua. Bersama rekan-rekanya mereka merubah mesjid tersebut yangsebelumnya dibuat daru kayu menjadi sebuah bangunan dari batu seperti yang terlihat sekarang. Didalamnya terdapatsebuah kolam yang digunakan untuk menyimpan air wudhu, kolam tersebut sudah dicatat diatas peta-peta dari arsip Belanda pada saat Muna Kadar memohon ijin perehaban mesjid. Kolam itu agak besar bentuknya, dan ternyata sudah sejak dahulu berisi ikan – sebagian dari ikan-ikan yang terdapat di dalamnya sekarang kelihatan sudah sangat tua. Sebuah kolam kedua yang ada dibelakang mesjid telah ditutup ketika mesjid ini direhab dari dalam, dan lantai di atasnya sekarang dijadikan tempat sembahyang. Kolam itu satui-satunya yang masih terdapat di mesjid yang ada di Padang dan airnya dianggap sebagai sesuatu yang mengandung daya penyembuhan – sampai sekarang banyak orang berdatangan dari jauh untuk mengambil air tersebut guna mengobati perlbagai macam penyakit.

Pada tahun 1824 seorang tentara Belanda yang ditugaskan di Padang, Kolonel Nahuys melaporkan, “ Mengenai rumah-rumahnya, aturan pembangunan dan keadaannya. Padang adalah tempat yang paling lusuh dan tak teratur yang dihuni orang Eropah yang sampai sekarang saya lihat di Hindia, dan saya dengan sesungguhnya dapat mengatakan, bahwa di seluruh Padang saya tak melihat tiga rumah yang baik. Jembatan-jembatan dan jalan-jalan sangat tidak teratur dan tidak terpelihara. Kebanyakannya tidak dapat penukaran udara dari angin, dan kelihatannya tak berbeda dari jalan-jalan setapak di dalam ladang pohon nipah dan rumput alang-alang. “Akan tetapi, sudah pada tahun 1881 E.Netscher, gubernur Sumatera Barat yang diantara tahun 1870-78 berdomisili di Padang nmengatakan: “ Siapa yang dapat dalam lukisan itu mengenali kembali sejejak pun dari Padang masa kini, dengan penduduk yang banyak, jalan-jalan yang lebarnya dapat ditempati lalu-lintas yang padat, gedung-gedung pemerintah yang anggun dan rumah-rumahnya yang pantas danindah. Kota ini, yang sekarang memberikan kemakmuran kepada ribuan orang dalam ketertiban dan keamanan; suatu kota yang menjadi tempat ke… buat kebanyakan orang Eropa yang telah menghuninya, ke mana mereka dalam pikiran-pikiran selalu dengan rasa senang. Mungkin benar, bahwa disini kekayaan yang besar tidak didapat, dan Padang oleh karena itu tidak begitu berkepentingan buat orang yang cari uang, akan tetapi, siapa yang telah berdiam disini selama beberapa tahun saja merasa berhubungan erat dengan Padang. Dan pada tahun 1919 ditulis :”Sungguh, entah Kolonel Nahuys dibiarkan memandangi Kota Padang dalam keadaan hari inisekalis aja, maka dia pasti tidakd apat mengenali lagi Padang yang dulu itu.

Tidak ada komentar: