Eko Alvares Z

Kamis, 26 Juni 2008

Robohnya Rumah Gadang Kami

Minggu, 15 Juni 2008, Padang Ekspres
Rumah gadang (rumah adat) sebagai identitas dan kebanggaan rang Minang kini terancam hilang. Banyak yang dibiarkan lapuk tak terurus dan runtuh berkeping-keping. Bisa dihitung dengan jari, rumah gadang yang terawat, berdiri megah dan menjadi bagian penting dalam pengambilan keputusan membangun nagari.

Kondisi yang memiriskan ini bisa dilihat di Luhak Agam. Tak seberapa rumah gadang yang mampu berdiri kokoh sesuai harapan di era babaliak ka nagari. Kontras dengan sejarahnya, rumah gadang berdiri megah hampir di setiap sudut perkampungan.

Masalah biaya, lemahnya ekonomi masyarakat di kampung halaman jadi penyebab utama hilangnya khasanah rumah gadang yang selama ini jadi kebanggaan rang Minang. Padahal, rumah gadang berperan sentral dalam membangun kebersamaan, tempat menempa diri kaum muda baik adat, seni tradisi, agama dan beladiri.

Malahan, kini banyak yang berasumsi rumah gadang lebih diorientasikan sebagai simbol “kekuatan ekonomi” kaum, suku dan kelompok masyarakat. Jadi mereka-mereka dari keluarga dan kaum yang mempunyai ekonomi lebih giat membangun. Apalagi masyarakat di kampung halaman justru dihadang beragam kesulitan.

Mantan Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Agam (almarhum) MTH. Dt. Pangulu Basa, saat masih hidup tahun 1980-an mengatakan hampir semua jorong dan nagari, setidaknya memiliki tiga sampai lima rumah gadang milik kaum dan suku.

Di rumah gadang, seluruh aktivitas warga digelar, bukan saja tempat musyawarah keluarga dan kaum. Tapi juga tempat merumuskan berbagai kebijakan membangun kampung dan nagari, termasuk sebagai tempat latihan mental generasi muda seperti beladiri, pendidikan adat istiadat dan pasambahan.

Namun seiring semangat kembali ke nagari dan pemerintahan nagari yang semakin eksis dan didukung semakin tingginya kepedulian perantau, perlahan tapi pasti, sosok rumah gadang kembali menjulang megah.

Di banyak tempat walau masih dalam hitungan jari rumah-rumah gadang lengkap dengan arsitekur khas Minangkabau yang membanggakan mulai berdiri. Salah satunya rumah gadang kaum Caniago di Bandar Baru, Lubukbasung yang dibangun atas kepedulian dan perhatian perantau dan anak kemenakan.

Saat ini, rumah gadang nan sambilan ruang di Bandar Baru, bukan sekadar tempat berkumpul anak kemenakan tetapi sekaligus tempat menggelar berbagai kegiatan kampung dan nagari. Kini selain rumah gadang juga berdiri Masjid An-Har yang megah persis disampingnya. Kaum suku Melayu juga tak mau ketinggalan dan membangun rumah gadang tempat baiyo batido di Padang Baru, Lubukbasung.

Kondisi di Luhak Agam juga tak jauh beda dengan Kota Padang. Memang di daerah pinggiran masih banyak ditemui rumah gadang. Ada rumah gadang yang umurnya sudah mencapai ratusan tahun dan masih dihuni pemiliknya. Tapi ada juga yang sudah ditinggalkan, tak berpenghuni dengan kondisi yang mengenaskan.

Kecamatan Kuranji, salah satu kawasan, dimana sebagian kecil penduduknya tetap mencoba melestarikan rumah gadang. Memasuki simpang Kuranji, kita sudah disuguhi deretan rumah gadang, dengan berbagai ukuran. Di Kelurahan Korong Gadang misalnya terdapat rumah gadang yang sudah direnovasi. Arsitekturnya dipadukan dengan arsitektur bangunan modern, karena kondisi awalnya sudah tak layak dihuni.

"Saya tidak tahu siapa pemiliknya. Sejak tinggal di sini, rumah tersebut sudah kosong,"ujar upik (45), salah seorang warga yang tinggal di samping sebuah rumah gadang tak berpenghuni tersebut. Dari kondisinya, rumah tersebut sudah bertahun-tahun tak dihuni. Terlihat dari rumput halamannya sudah tinggi dan lumut menempel di beberapa bagian rumah. Tapi, jika membayangkan kondisi aslinya, bisa jadi, rumah gadang ini cukup mewah. Tampak ukiran pintu dan bahan kayu yang dipakai sangat kokoh.

Namun di Simpang Belimbing masih ada rumah pusako milik keluarga Rosna (70) yang hingga kini masih dihuni. Rumah gadang yang sudah dihuni tiga generasi tersebut masih tampak kokoh, dengan penyangga yang terbuat dari kayu jati. Bagian rumah yang terdiri dari empat kamar itu, masih tampak rapi, tak ada kesan, bahwa rumah gadang tersebut sudah uzur.

"Saya sudah sejak lahir tinggal di sini, waktu itu, sebagian besar kawasan ini masih rimba, hanya beberapa rumah gadang yang berdiri," ujar anak Rosna, Zaina (57) yang memiliki empat orang anak ini.

Zaina bertutur, perjalanan keluarganya membangun rumah gadang tersebut cukup sulit. Keluarganya belum berniat merehab rumah gadang dan menyesuaikan bentuknya dengan rumah modern. "Banyak kenangan kelurga di rumah ini. Kalau direhab, sama saja menghilangkan kenangan kami," ungkap Zaina.

Sama halnya dengan Zaina, Rahmah (74), juga bersikeras tak akan pernah melakukan rehab terhadap rumah gadang yang ditinggalinya. "Biarlah nanti rumah ini runtuh sendiri," ucap ibu beranak tujuh, dan merupakan generasi keempat yang tinggal di rumah gadang tersebut.

Rumah gadang yang hanya memiliki satu kamar besar tersebut, menurut Rahmah, menyimpan banyak sejarah. Saat perang antara tentara Indonesia dan Belanda sekitar tahun 1940-an sempat menjadi base camp tentara Minang dan Jawa. "Waktu itu saya masih duduk di kelas 2 SD. Saya ingat betul tentara Minang membawa tentara Belanda yang ditangkapnya, untuk, diinterogasi di rumah ini," kenang nenek, tujuh orang cucu ini, bangga.

Rumah gadang yang umurnya lebih dari seratus tahun itu, sudah melalui berbagai tahap kehidupan. Mulai dari detik-detik kelahiran anak-anak Rahmah bersama Din (75) hingga perhelatan pernikahan anggota keluarga.

Rumah gadang yang kini ditempatinya dengan sang suami, anak bungsu, menantu, dan dua cucunya tersebut awalnya hanya beratapkan rumbio. Tapi berhubung seng sudah ada, Rahmahpun menggantinya tapi bagian lain rumah masih original. "Hanya saja, jika kayu lantai keropos, saya ganti dengan kayu lain," lanjutnya.

Rahmah juga mengaku sedih, karena saat ini ada masyarakat yang rela menghancurkan rumah gadang mereka, dan menggantinya dengan rumah batu. Padahal, rumah gadang tersebut merupakan simbol dan identitas orang minang.

Saya hanya berpesan kepada anak-anak saya, agar selalu menjaga rumah gadang ini, meskipun nanti saya sudah tidak ada," harap Rahmah, yang juga menjadi saksi hidup peperangan di Kota Padang, bahkan saat perang tersebut, di rumah gadang milik keluarganya itu, menjadi tempat persembunyian para warga, karena di bagian bawah rumahnya memiliki lubang persembunyian.

Ketua Pusat Studi Konservasi Arsitektur (Pusaka) Universitas Bung Hatta (UBH), Eko Alvares mengatakan kurang terpeliharanya rumah gadang karena kemampuan masyarakat terbatas. Keluarga yang saparuik juga sulit mencapai kesepakatan karena dana yang dibutuhkan cukup besar, mencapai ratusan juta rupiah.

Hasil studi Pusaka di 14 nagari di Sumbar menunjukkan banyak rumah gadang yang kurang terurus. Malahan terpaksa dipotong penghuninya karena bagian lain sudah tidak terawat seperti di Nagari Rao-rao, Tanahdatar. Intervensi pemerintah belum bisa diharapkan karena terbatasnya anggaran.

"Jangankan memikirkan membangun rumah gadang, membangun ekonomi masyarakat pun masih kesulitan. Namun kita tetap berharap, minimal pemerintah memberikan insentif bagi masyarakat yang mau memelihara keutuhan rumah gadang di daerahnya," ujar Eko.

Eko Alvares menilai selain dana, karakter masyarakat Minang yang cepat merespons perubahan mengakibatkan berbagai tradisi cepat ditinggalkan termasuk abai dengan rumah gadang. Menurutnya, ke depan dibutuhkan strategi transformasi budaya, mengikuti perubahan tanpa meninggalkan identitasnya.

Kepala Museum Museum Usria Dhavida mengakui data base dan dokumentasi rumah gadang secara utuh di Sumbar belum ada. Museum juga lebih banyak bergerak dalam pelestarian benda-benda bergerak seperti perhiasan-perhiasan rumah gadang. Sedangkan rumah gadangnya karena masuk kategori tidak bergerak statusnya menjadi situs dan pemeliharaannya menjadi kewenangan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3).

Khusus benda bergerak terang Usria Davida, museum secara terus menerus berupaya melestarikannya melalui pencarian ke daerah-daerah, membelinya kepada masyarakat dan menempatkannya di museum. Beberapa daerah juga dibantu lemari penyimpanan benda-benda bersejarah tersebut. Namun program ini belum berjalan maksimal karena keterbatasan anggaran. Apalagi perhiasan yang terbuat dari emas harganya mencapai puluhan juta rupiah.

Justru pendidikan dan pemahaman kepada masyarakat yang perlu terus ditingkatkan sehingga mereka tidak mudah melepas benda-benda bersejarah hanya dengan iming-iming rupiah. Apalagi kondisi saat ini sebagian besar peninggalan sudah hilang terutama yang bagus-bagus dan terbuat dari emas seperti pending, sunting, pedang samurai, keris, batu giok dan kuku emas. (Tim Padek)

Tidak ada komentar: