Eko Alvares Z

Minggu, 22 Juni 2008

Para Penyelamat Pusaka Saujana

Nan lereng ditanam tabu. Nan tunggang ditanam buluah. Nan gurun buek ka parak. Nan bancah jadikan sawah. Nan munggu ka pandam pakuburan. Nan gauang katabek ikan. Nan lambah kubangan kabau. Nan padek ka parumahan.


Itu adalah pantun adat Minangkabau yang merangkum aturan pembangunan rumah gadang. Rumah adat Minangkabau didirikan dengan banyak panduan, antara lain tidak boleh didirikan pada tanah basah, rendah atau labil atau di atas lahan pertanian. Pantun ini juga menuntun masyarakat Minangkabau untuk menggunakan lahan dan tanaman sesuai sifat dan kondisinya.

Dari situ terlihat bagaimana eratnya hubungan antara alam dan budaya dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Jika pusaka leluhur yang dimiliki masyarakat ini tak dijaga, satu persatu akan hilang. Jejak kepunahan itu mulai terlihat, dari terbengkalainya warisan budaya leluhur tersebut.

Beruntung ada kalangan akademisi yang punya kepedulian pada saujana--hubungan antara alam dan budaya, yang khas dimiliki Indonesia. Eko Alvares, Kordinator Pusat Studi Konsevasi Arsitektur (Pusaka) Universitas Bung Hatta Padang, mengatakan selama ini konservasi budaya di Indonesia hanya terbatas pada bangunan fisik. Padahal, banyak pusaka budaya lain seperti tradisi lisan dan seni lain yang harus diselamatkan.

Berawal dari keprihatinan ini, Pusaka membuka jaringan dengan beberapa perguruan tinggi lain untuk bekerja sama menyelamatkan alam dan budaya Minangkabau. "Untuk menyelamatkan alam dan budaya perlu rancangan yang sesuai dengan keadaan lingkungan. Ini tidak bisa berlaku seragam untuk semua pusaka budaya yang ada di Indonesia," katanya.

Dia meyakini, semakin banyak aktivitas yang bisa dilakukan di komunitas masyarakat Minangkabau, semangat untuk melestarikan budaya akan semakin kuat. Melibatkan beberapa mahasiswa yang dinamis dan energik, persoalan mendata dan mendokumentasikan rumah gadang di kabupaten Tanahdatar tidak mengalami kesulitan berarti. Meski pedih melihat setiap tahun ada dua sampai tiga rumah gadang yang roboh, namun tekadnya untuk mendokumentasikan bangunan yang masih berdiri tak pernah goyah.

Pusaka yang berdiri setahun silam akhirnya menemukan "jodoh" ketika Naniek Widayati, dosen jurusan Arsitektur Universitas Tarumanagara, Jakarta, menggandeng mahasiswanya melihat dari dekat alam dan budaya Minangkabau, pertengahan April lalu. Naniek mengatakan setelah melihat banyak warisan budaya Minang yang terlantar, minat untuk bergabung dengan gerakan konservasi yang sudah dimulai koleganya di Padang pun kian besar.

Universitas Tarumanagara, kata Naniek, bahkan menawarkan desain ulang tata kota Tanahdatar menjadi kawasan bisnis dan pariwisata. Pemandangan alam Tanahdatar yang eksotis seperti menelusuri pinggang gunung Merapi, merupakan potensi alam yang bisa dijual. ''Daerah ini harus bisa didesain ulang agar lebih hidup."

Melestarikan pusaka toh bukan berarti harus bergerak tanpa perubahan. Karena dunia ini dinamis, apa yang kita nikmati hari ini juga harus menjadi pusaka untuk hari esok. ''Jangan pernah berhenti pada konservasi. Yang penting justru bagaimana me-manage perubahan budaya itu sendiri," kata Eko. Meyakini itu, dua dosen arsitektur ini terus menggerakkan mahasiswanya untuk memotret, mengukur, ngobrol dengan penduduk setempat dan ngedumel! Begitulah para penyelamat saujana ini melampiaskan kecintaannya pada budaya Minang yang agung. Yeye

http://www.korantempo.com/news/2004/5/2/Arsitektur/29.html

Tidak ada komentar: